LEFT-BACK.COM – Bulan Ramadhan semakin dekat, bulan suci yang dinantikan oleh umat Islam sebagai momen ibadah dan refleksi diri. Lebih dari itu, Ramadhan juga menjadi waktu untuk mempererat hubungan keluarga melalui berbagai aktivitas bersama, seperti sahur, berbuka puasa, sholat berjamaah, dan tarawih. Namun, sebelum memasuki bulan suci ini, masyarakat di wilayah Bogor dan sekitarnya memiliki tradisi unik yang masih lestari hingga kini, yaitu Cucurak. Apa Itu Cucurak? Cucurak adalah tradisi khas masyarakat Bogor dan wilayah Pasundan yang dilakukan menjelang Ramadhan sebagai bentuk suka cita menyambut bulan suci. Istilah “Cucurak” berasal dari kata “curak-curak” yang bermakna sengaja berkumpul dan bersuka ria. Tradisi ini biasanya diwujudkan dengan makan bersama keluarga besar, tetangga, atau rekan kerja, sebagai simbol kebersamaan dan rasa syukur. Makanan yang disajikan dalam Cucurak umumnya sederhana tetapi penuh makna, seperti nasi liwet, tahu, tempe, ikan asin, lalapan, dan sambal, yang biasanya disusun di atas daun pisang dan dinikmati secara lesehan. Bukan hanya soal makanan, Cucurak juga menjadi ajang silaturahmi dan momen untuk saling bermaafan sebelum memasuki bulan penuh berkah. Jejak Sejarah Cucurak di Tanah Pajajaran Sebagai tradisi yang berasal dari Bumi Pajajaran, Cucurak telah berlangsung sejak zaman kerajaan Sunda. Dahulu, masyarakat agraris di wilayah ini menganggap kebersamaan dan gotong royong sebagai nilai utama dalam kehidupan. Cucurak menjadi salah satu bentuk manifestasi nilai tersebut, di mana masyarakat berkumpul untuk makan bersama sebagai simbol rasa syukur atas hasil bumi yang mereka panen. Di beberapa daerah, Cucurak juga berkaitan erat dengan tradisi Munggahan, yaitu makan bersama menjelang Ramadhan, yang sering kali melibatkan keluarga besar, tetangga, atau teman sejawat. Kampung Budaya Sindang Barang, sebagai salah satu kampung adat Sunda tertua di Bogor, masih mempertahankan tradisi ini dengan sangat kuat. Menyatu dengan Alam melalui Cucurak Bagi masyarakat adat, makanan bukan hanya sekadar konsumsi, tetapi juga bagian dari filosofi kehidupan. Dalam Cucurak, bahan makanan yang digunakan umumnya berasal dari hasil bumi setempat, seperti sayuran segar, ikan hasil tangkapan, serta padi yang ditanam sendiri. Di Kampung Budaya Sindang Barang, misalnya, masyarakat masih menerapkan pola hidup berkelanjutan, di mana mereka mengolah makanan dengan bahan alami dan tanpa pengawet. Hal ini mencerminkan filosofi Sunda yang mengedepankan kesederhanaan, keseimbangan dengan alam, dan kebersamaan. Cucurak, Perekat Generasi dan Keluarga Di tengah kesibukan dan mobilitas tinggi masyarakat modern, Cucurak menjadi momen penting untuk menyatukan kembali anggota keluarga yang tersebar di berbagai tempat. Generasi muda yang merantau ke kota-kota besar akan menyempatkan diri untuk pulang, berkumpul dengan orang tua dan sanak saudara, serta mengikuti tradisi ini sebagai bagian dari penghormatan kepada leluhur. Selain itu, Cucurak juga menjadi kesempatan bagi setiap individu untuk bermaaf-maafan, membersihkan hati sebelum memasuki bulan Ramadhan, serta memperkuat nilai-nilai persaudaraan yang semakin terkikis oleh kesibukan dunia modern. Cucurak dan Tradisi Munggahan: Dua Tradisi, Satu Makna Selain Cucurak, masyarakat Sunda juga memiliki tradisi Munggahan, yaitu makan bersama yang dilakukan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Jika Cucurak dilakukan sebelum Ramadhan, maka Munggahan biasanya dilaksanakan menjelang 1 Syawal. Kedua tradisi ini memiliki esensi yang sama, yaitu silaturahmi, kebersamaan, dan rasa syukur. Kesimpulan: Melestarikan Cucurak sebagai Warisan Budaya Di era modern ini, banyak tradisi yang mulai ditinggalkan. Namun, Cucurak tetap bertahan sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat Bogor dan Sunda secara umum. Selain menjadi ajang makan bersama, Cucurak juga mengajarkan pentingnya kesederhanaan, kebersamaan, dan penghormatan terhadap tradisi leluhur. Melestarikan tradisi ini bukan hanya tentang menjaga warisan nenek moyang, tetapi juga tentang menjalin hubungan yang lebih erat dengan keluarga, teman, dan masyarakat sekitar. Mari kita terus menjaga tradisi ini agar tetap hidup dan bisa diwariskan ke generasi mendatang. Baca juga: Tradisi Penyapu Koin di Jembatan Sewo: Warisan Budaya Pantura yang Sarat Makna Pernikahan Simbolis dengan Pohon: Aksi Unik Demi Kesadaran Lingkungan Jejak Sejarah di Indramayu: Bangunan Berusia Ratusan Tahun yang Masih Berdiri