LEFT-BACK.COM – Di tengah ketidakpastian menjelang kedatangan Sekutu, Sukarno menulis sebuah testamen yang mengejutkan banyak pihak. Jika dirinya tak lagi mampu memimpin revolusi, ia akan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada seseorang yang dianggap mahir dalam perjuangan revolusioner—Tan Malaka. Keputusan ini memicu perdebatan di antara lingkaran terdekatnya, termasuk Dipa Nusantara Aidit. Menurut buku Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan (2010), Aidit sulit menerima kenyataan bahwa seorang yang pernah dipenjarakannya selama dua tahun tanpa pengadilan justru mendapatkan kehormatan tersebut. PKI, yang dipimpin Aidit, merupakan salah satu kekuatan utama yang menopang politik Sukarno. Oleh karena itu, ia merasa lebih layak berada dalam testamen tersebut. Namun, Sukarno bukanlah sosok yang mudah ditebak. Testamen itu bukan sekadar teatrikal politik atau basa-basi. Bahkan, kabarnya, tak lama setelah ditulis, dokumen itu dibakar oleh Sukarno sendiri untuk menghindari spekulasi yang dapat mengguncang republik. Tan Malaka dan Konsep Republik Indonesia Nama Tan Malaka kerap tenggelam dalam kabut sejarah. Bahkan, tanggal lahirnya saja masih diperdebatkan. Djamaludin Tamin dalam Kematian Tan Malaka (1965) dan Helen Jarvis dalam artikelnya Tan Malaka: Revolutionary or Renegade? (1987) menyebut ia lahir sekitar 1896. Namun, sejarawan Harry Albert Poeze, yang meneliti perjalanan hidupnya sejak 1972, menetapkan 2 Juni 1897 sebagai tanggal kelahirannya. Terlepas dari misteri hidupnya, pemikiran Tan Malaka tak bisa diabaikan. Ia merupakan sosok pertama yang mencetuskan konsep Republik Indonesia dalam buku Naar de Republiek Indonesia (1925). Gagasan ini bahkan mendahului tulisan Mohammad Hatta dalam Indonesië Vrije (1928) serta gagasan Sukarno dalam Menuju Indonesia Merdeka (1933). Tak heran jika banyak pihak beranggapan bahwa Tan Malaka adalah inspirasi bagi pemikir kemerdekaan setelahnya. Sayangnya, meski berjasa dalam membangun ideologi republik, ia tak sempat menjadi bagian dari proses kemerdekaan itu sendiri. Pemikiran Radikal dan Tantangan Imperialisme Dalam Naar de Republiek Indonesia, Tan Malaka menyajikan analisis tajam tentang kapitalisme dan imperialisme. Ia menganalogikan sistem kapitalisme global sebagai gedung yang ditopang oleh pilar-pilar penjajahan. Indonesia, dalam hal ini, menjadi salah satu tiang yang menopang struktur tersebut. Tan menilai bahwa penjajahan hanyalah alat bagi kapitalisme untuk mempertahankan eksploitasinya. Ia skeptis terhadap gagasan perdamaian yang digaungkan negara-negara adidaya seperti Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat. Menurutnya, kekuatan-kekuatan besar dunia selalu mencari cara untuk mempertahankan dominasi ekonomi mereka, bahkan melalui perang dan kolonialisme. Ia juga mengkritik politik wortel dan tongkat yang diterapkan oleh kolonial Belanda. Metode ini mengacu pada strategi kekuasaan yang mengombinasikan tekanan militer dan janji-janji manis untuk meredam perlawanan rakyat. Tan Malaka menolak mentah-mentah taktik tersebut. Baginya, kemerdekaan tidak bisa didapatkan melalui negosiasi dengan penjajah, melainkan harus direbut dengan perjuangan revolusioner yang matang. Gerakan Revolusi dan Kritik terhadap PKI Sebagai seorang revolusioner, Tan Malaka memiliki visi besar dalam menggulingkan imperialisme. Ia percaya bahwa hanya melalui gerakan rakyat yang solid, kolonialisme bisa dihancurkan. Oleh karena itu, ia menggagas konsep perjuangan berbasis proletariat, sejalan dengan pemikiran Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum pekerja tidak punya apa-apa selain rantai belenggu mereka. Namun, Tan juga menyadari bahwa gerakan revolusi tidak boleh sekadar menjadi teori belaka. Ia mengkritik partai-partai politik pada masanya—termasuk Budi Utomo, Indische Partij, Sarekat Islam, dan bahkan PKI—karena dianggap masih belum memiliki strategi yang konkret dalam merealisasikan revolusi. Bagi Tan, revolusi bukanlah sekadar slogan atau cita-cita utopis. Ia harus diwujudkan dengan strategi yang matang, disiplin organisasi yang kuat, serta kepemimpinan yang solid. Majelis Permusyawaratan Nasional Indonesia: Konsep Demokrasi ala Tan Malaka Salah satu konsep menarik yang diusulkan Tan Malaka adalah pembentukan Majelis Permusyawaratan Nasional Indonesia. Gagasan ini mirip dengan konsep Trias Politica ala Montesquieu, tetapi dengan pendekatan yang lebih sesuai dengan realitas politik Indonesia saat itu. Tan berpendapat bahwa Indonesia harus memiliki sistem pemerintahan yang mandiri, tanpa campur tangan kekuatan asing. Menurutnya, jika Indonesia ingin berdaulat, maka semua elemen pemerintahan harus tunduk pada kepentingan nasional, bukan kepentingan imperialis. Ia juga menegaskan bahwa revolusi tidak boleh bergantung pada bantuan luar negeri. Kemerdekaan harus diperjuangkan secara mandiri, tanpa perlu menunggu persetujuan dari negara-negara lain. Tan Malaka: Revolusioner yang Terlupakan Meski memiliki pemikiran yang jauh melampaui zamannya, Tan Malaka lebih sering beroperasi di balik layar. Ia tidak mencari popularitas, tetapi fokus pada perjuangan yang diyakininya. Sayangnya, perjuangannya membuatnya menjadi buronan sepanjang hidupnya. Baik kolonial Belanda maupun pemerintah Indonesia sendiri pernah menganggapnya sebagai ancaman. Bahkan, ia akhirnya dieksekusi oleh tentara Indonesia pada 1949—sebuah ironi bagi seorang pejuang yang telah mengorbankan segalanya demi kemerdekaan. Namun, meski namanya sering terlupakan dalam sejarah resmi, pemikiran dan perjuangannya tetap menjadi bagian penting dari perjalanan bangsa ini. Gagasan-gagasannya tentang revolusi, kemandirian politik, dan perjuangan kelas masih relevan hingga hari ini. Sejarah mungkin tidak selalu berpihak padanya, tetapi jejak pemikirannya akan terus menginspirasi generasi penerus. Kesimpulan Tan Malaka bukan hanya seorang revolusioner, tetapi juga pemikir besar yang visinya jauh ke depan. Ia melihat kemerdekaan sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan tanpa kompromi. Ia memahami bahwa imperialisme tidak bisa dihadapi dengan retorika kosong, tetapi dengan aksi nyata yang terorganisir. Meskipun hidupnya berakhir tragis, gagasan-gagasannya tetap abadi. Jika hari ini kita menikmati kemerdekaan, sebagian dari itu adalah warisan pemikiran Tan Malaka—seorang patriot yang memilih jalan sunyi dalam memperjuangkan republik ini. Baca juga: Menyusuri Napoli: Ketika Sepak Bola Menjadi Agama, dan Maradona Menjadi Nabinya Lebih dari Sekadar Angka: Persib 1933 dan Arti Sebuah Warisan Indramayu: Paradoks Cahaya Literasi dan Angka Melek Huruf