Persib Bandung: Dari Sang Juara Menjadi Diktator Mini

Kemenangan yang seharusnya menjadi momentum kebangkitan, malah bermetamorfosis menjadi petaka yang mengoyak hubungan antara klub dengan pendukung setianya, Bobotoh. Kegagalan di laga perdana AFC Champion League 2 melawan Port FC, yang diperparah dengan minimnya kehadiran Bobotoh di stadion, menjadi titik kulminasi dari serangkaian masalah yang menggurita di tubuh Persib. Isu sulitnya mendapatkan tiket, hingga tudingan miring tentang upaya klub untuk meredam semangat juang Bobotoh, semakin memperkeruh suasana. Puncak dari kekecewaan Bobotoh terjadi setelah pertandingan melawan Port FC pada (19/9/2024) lalu. Teriakan “Persib butut” yang meluap dari tribun, sebagai ungkapan kekecewaan atas penampilan tim, justru disambut dengan tindakan represif dari pihak klub. Seorang Bobotoh yang berani menyampaikan aspirasi, secara brutal digiring ke ruang ganti pemain dan diduga mengalami tindak kekerasan oleh pemain dan kitman Persib. Sungguh ironis, sebuah klub yang dibangun atas dasar cinta dan kesetiaan para pendukungnya, kini tega memperlakukan mereka dengan sedemikian kejam. Persib yang dulu dikenal sebagai simbol persatuan dan kebanggaan, kini menjelma menjadi diktator mini yang tak segan-segan membungkam suara rakyatnya. Aksi kekerasan terhadap Bobotoh ini bukan hanya sekadar pelanggaran etika, tetapi juga merupakan pengkhianatan terhadap sejarah panjang Persib. Klub yang pernah menjadi saksi bisu perjalanan sepak bola Indonesia, kini justru menjadi contoh buruk bagi klub-klub lain di dunia. Persib Bandung, yang seharusnya menjadi inspirasi bagi banyak orang, kini justru menjadi aib bagi sepak bola Indonesia. Kisah ini adalah sebuah tragedi yang memilukan, di mana sebuah institusi yang seharusnya menjadi pemersatu, malah menjadi pemicu perpecahan.