LEFT-BACK.COM – Hujan turun deras sore itu, membasahi tanah dan mengguyur ribuan Bobotoh yang memadati venue nonton bareng di Kodam III Siliwangi. Namun, semesta seolah tahu bahwa semangat ini tak akan padam. Anak-anak berlarian dengan penuh kegembiraan, para ayah berdiri tegak dengan sorot mata penuh harapan, para ibu menggenggam erat tangan anak-anak mereka, dan orang tua tetap duduk di barisan terdepan, seakan ingin memastikan bahwa gairah mendukung Persib tetap diwariskan. Bukan sekadar pertandingan, bukan sekadar 90 menit di atas lapangan—ini tentang kebanggaan, tentang sebuah warisan yang mengalir dalam darah setiap Bobotoh. Meskipun kemenangan tak berpihak, hasil imbang 1-1 melawan Persija Jakarta tetap menjadi alasan bagi Bandung untuk bersyukur. Sebuah poin yang dicuri di laga sarat gengsi ini membuktikan bahwa Persib tetap bertarung, tetap berjuang, sebagaimana para suporternya yang tak pernah lelah memberi dukungan. Sore itu, satu hal menjadi jelas: anggapan bahwa animo sepak bola di Bandung menurun adalah keliru. Persib bukan hanya klub sepak bola, lebih dari itu, Persib adalah budaya, identitas, dan kebanggaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sebagaimana hujan yang tak mampu membubarkan kerumunan Bobotoh sore itu, tak ada yang bisa meredupkan kecintaan terhadap Persib. Sebab, selama langit masih menaungi Bandung, selama hati masih berdenyut dalam dada Bobotoh, Persib akan selalu hidup—dan terus diwariskan. Baca juga: Menyusuri Napoli: Ketika Sepak Bola Menjadi Agama, dan Maradona Menjadi Nabinya Tiago Rech: Suporter Tunggal yang Kini Menjadi Presiden Klub Santa Cruz Neymar Jr. Tepati Janji: Kembali ke Santos Setelah 12 Tahun di Eropa