Daur Ulang Gagal? Inilah Fakta Gelap di Balik Krisis Sampah Plastik Dunia

LEFT-BACK.COM – Sepuluh tahun lalu, World Economic Forum bersama Ellen MacArthur Foundation mengungkap sebuah prediksi yang mengejutkan: jika tren limbah plastik terus meningkat, maka pada tahun 2050 bobot plastik di laut bisa melampaui berat seluruh ikan di dalamnya.   Laporan ini pertama kali dirilis pada 31 Desember 2015. Namun sayangnya, satu dekade berselang, tren konsumsi dan pembuangan plastik justru belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Setiap tahunnya, dunia memproduksi lebih dari 400 juta ton plastik. Sebagian besar tidak pernah mengalami proses daur ulang. Limbah tersebut dibakar, dikubur, atau berakhir sebagai pencemar ekosistem.   Plastik yang dibuang sembarangan mencemari tanah, air, hingga udara karena sifatnya yang tidak dapat terurai secara alami. Alih-alih hilang, plastik terpecah menjadi mikroplastik yang bisa bertahan hingga ratusan tahun. Fragmen kecil inilah yang kemudian menjadi ancaman bagi seluruh rantai makanan, termasuk manusia.   Di ekosistem laut, jejak kerusakan akibat plastik sudah sangat kentara. Setiap tahunnya, jutaan biota laut mati karena tertelan atau terjerat plastik. Mikroplastik juga telah ditemukan dalam plankton, ikan, makanan laut, hingga garam dapur yang kita konsumsi sehari-hari.   Tak hanya merusak ekosistem, industri plastik juga menyumbang emisi karbon dalam jumlah besar—hampir dua miliar metrik ton CO₂ per tahun—menjadikannya kontributor signifikan terhadap krisis iklim.   Jejak Para Pelaku Utama   Nyaris semua negara ikut bertanggung jawab dalam krisis ini. Namun, laporan dari Science Advances menyoroti lima perusahaan besar sebagai penyumbang utama limbah plastik bermerek: Coca-Cola, PepsiCo, Nestlé, Danone, dan Altria. Produk-produk mereka bergantung pada kemasan sekali pakai yang sulit terurai.   Negara maju seperti Amerika Serikat menjadi produsen limbah plastik terbesar per kapita. Tak hanya menghasilkan, mereka juga kerap membuang sampah plastiknya ke negara-negara berkembang di Asia. Ketika Tiongkok melarang impor sampah plastik pada 2018, wajah kelam industri ini pun tersingkap.   Indonesia sendiri berada di posisi kedua sebagai negara penyumbang sampah plastik laut terbanyak, setelah Tiongkok. Perusahaan domestik seperti Wings, Mayora Indah, dan Salim Group masuk dalam daftar penyumbang sampah bermerek terbanyak, bersanding dengan perusahaan multinasional.   Mitos Daur Ulang   Konsep reduce, reuse, dan recycle sudah lama dikampanyekan, namun recycle kerap dianggap sebagai solusi utama. Sayangnya, dari seluruh plastik yang diproduksi, hanya sekitar 9% yang benar-benar berhasil didaur ulang.   Tidak semua jenis plastik mudah diproses ulang. Beberapa hanya dapat digunakan sekali, dan bahkan jika bisa didaur ulang, kualitasnya menurun, membuatnya tak dapat dipakai kembali dalam jangka panjang. Sisanya berakhir di TPA atau dibakar, yang sama-sama menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.   Biaya ekonomi juga menjadi kendala. Plastik baru yang terbuat dari bahan bakar fosil lebih murah dibandingkan plastik hasil daur ulang. Inilah alasan mengapa industri lebih memilih memproduksi plastik baru ketimbang menggunakan yang sudah ada.   Banyak analis meyakini bahwa narasi daur ulang dipopulerkan oleh industri minyak sebagai strategi untuk mempertahankan dominasi. Mereka menggiring opini publik agar tanggung jawab beralih ke konsumen, padahal akar masalahnya adalah produksi plastik yang berlebihan.   Solusi Jangka Panjang   Langkah pertama untuk mengatasi krisis plastik adalah memangkas produksi plastik sekali pakai secara besar-besaran. Pemerintah harus hadir dengan regulasi ketat, seperti yang telah diterapkan Uni Eropa, Kenya, dan Rwanda yang melarang penggunaan barang plastik tertentu.   Penerapan prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) juga krusial. Dalam skema ini, produsen diwajibkan bertanggung jawab atas seluruh siklus hidup produknya, termasuk pengelolaan sampah.   Inovasi seperti bahan kemasan biodegradable dan daur ulang kimia menawarkan harapan baru. Tapi, upaya tersebut memerlukan dukungan investasi dan kemauan politik yang kuat untuk bisa dijalankan secara luas.   Di saat yang sama, peningkatan sistem pengelolaan sampah di negara berkembang tetap menjadi fondasi penting. Kolaborasi antara komunitas lokal, LSM, dan sektor swasta terbukti mampu menciptakan dampak nyata.   Pada akhirnya, daur ulang bukanlah solusi utama. Upaya masif untuk mengurangi konsumsi dan produksi plastik adalah jalan satu-satunya. Tanpa langkah tegas dari pemerintah dan pertanggungjawaban industri, krisis ini hanya akan menjadi bola salju yang kian menggila.   Baca juga: Dedi Mulyadi Sampaikan Ucapan Satir untuk Bupati Indramayu Lucky Hakim yang Liburan ke Jepang 1,1 Juta Kendaraan Pemudik Telah Kembali ke Jakarta, Menhub: Masih Ada Sekitar 1,1 Juta Lagi Tradisi Nyapu Duit di Jembatan Sewo Indramayu: Antara Keunikan, Mitos, dan Kontroversi