Sukatani dan Polisi: Ketika Kritik Harus Bayar, Bayar, Bayar

LEFT-BACK.COM – Institusi kepolisian kembali menjadi perbincangan hangat setelah muncul dugaan pembatasan kebebasan berekspresi terhadap kritik yang ditujukan kepada mereka.   Salah satu kasus yang mencuat adalah penghapusan lagu Bayar Bayar Bayar dari semua platform digital. Lagu yang diciptakan oleh duo band post-punk asal Purbalingga, Sukatani, ini diduga mengandung lirik yang menyinggung institusi kepolisian. Kejadian ini memicu solidaritas dari warganet dan kalangan seniman, yang menilai bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk sensor terhadap karya seni.   Identitas yang Dihapus?   Dampak dari polemik ini semakin besar ketika Sukatani dipaksa untuk melakukan klarifikasi dan permintaan maaf di media sosial. Hal yang menjadi sorotan adalah absennya topeng khas yang selama ini mereka gunakan sebagai bagian dari identitas bermusik.   Dalam dunia seni dan subkultur, penggunaan topeng bukan sekadar gaya atau gimmick, melainkan simbol anonimitas yang sering kali mencerminkan perlawanan terhadap selebritas dan personalisasi yang berlebihan. Di skena punk, khususnya, menolak popularitas personal dan mengalihkan fokus ke pesan yang disampaikan adalah prinsip yang dipegang teguh.   Ketika Sukatani tampil tanpa topeng dalam permintaan maafnya, publik mulai bertanya: apakah ini merupakan tindakan sukarela atau justru akibat tekanan? Dalam subkultur punk, kehilangan anonimitas dengan cara semacam ini dapat dianggap sebagai simbol pelemahan identitas dan kebebasan berekspresi.   Punk: Musik, Ideologi, atau Keduanya?   Punk bukan hanya genre musik dengan tempo cepat dan lirik bernuansa perlawanan, tetapi juga sebuah etos hidup yang menentang konformitas, otoritas berlebihan, dan sistem yang dianggap menindas. Meskipun banyak yang mencoba mendefinisikan punk secara kaku, pada dasarnya punk adalah sikap dan kebebasan untuk bersuara tanpa takut represi.   Sebagai contoh, Beat Happening, band indie pop yang terbentuk pada 1982, memperluas definisi punk dengan pendekatan musik minimalis dan sikap non-konvensional di panggung. Meskipun tidak memiliki ciri khas punk yang umumnya dikenal, mereka tetap dianggap sebagai bagian dari gerakan karena keberanian mereka dalam menentang ekspektasi mainstream.   Dengan semangat yang sama, Sukatani seharusnya bisa berdiri tegak sebagai suara alternatif dari akar rumput. Namun, permintaan maaf mereka dinilai lebih sebagai bentuk kepatuhan terhadap tekanan eksternal, bukan refleksi atas karya yang mereka buat.     Antara Kebebasan dan Batasan   Kasus Sukatani mencerminkan bagaimana kebebasan berekspresi di Indonesia masih memiliki batasan yang samar. Negara menjanjikan ruang untuk berkarya dan berpendapat, tetapi ketika kritik diarahkan pada pihak berkuasa, seniman sering kali dipaksa menarik kembali karya mereka.   Bukan hanya soal “punk yang minta maaf,” tetapi lebih jauh lagi, ini adalah refleksi dari bagaimana tekanan sosial dan politik dapat mengikis kebebasan berekspresi. Identitas yang seharusnya menjadi bagian dari integritas seniman pun bisa direnggut dalam prosesnya.   Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa dalam sejarah punk, hubungan dengan otoritas tidak pernah harmonis. Jika ada yang membayangkan band punk merilis lagu berjudul Polisi yang Baik Hati, mungkin itu adalah sebuah anomali besar dalam sejarah subkultur ini.   Kesimpulan   Kasus Sukatani bukan sekadar cerita tentang band yang terpaksa meminta maaf, melainkan gambaran nyata tentang bagaimana kebebasan berekspresi masih bisa dibungkam dengan berbagai cara. Dalam dunia seni dan musik, kritik seharusnya menjadi bagian dari kebebasan berpendapat, bukan sesuatu yang harus ditakuti.   Pada akhirnya, kejadian ini mengingatkan kita pada sebuah kutipan yang pernah disampaikan oleh Gus Dur, yang masih relevan hingga kini:   “Hanya ada tiga polisi yang jujur: Pak Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur.”   Baca juga: Kontradiksi PSSI: Timnas Eropa, Liga Amatiran – Potret Buram Sepak Bola Indonesia Perjalanan Hidup Sang Legenda: John Lennon, Gugur Tragis di Tangan Penggemar Fanatik Kurt Cobain: Jenius Grunge yang Terjebak dalam Ketenaran dan Tragisnya Akhir Hidup