Fenomena Bisnis Garam Rukiah: Antara Penipuan dan Potret Ketimpangan Edukasi Masyarakat

LEFT-BACK.COM – Dalam era modern ini, salah satu fenomena bisnis yang mencuat adalah penjualan garam rukiah, sebuah komoditas yang dipasarkan dengan klaim spiritual berlapis agama. Padahal, secara substansi, produk ini tidak jauh berbeda dari garam kasar biasa atau garam krosok. Ironisnya, garam ini dijual dengan harga fantastis, mencapai Rp150.000 per kemasan, jauh melampaui harga garam krosok yang berkisar Rp3.000–6.000 per 500 gram.   Lonjakan harga hingga lebih dari 2.000% ini menimbulkan pertanyaan: mengapa masyarakat bersedia membeli produk seperti ini? Dalam analisis yang disampaikan oleh seorang doku vlogger di video Ferry Irwandi, fenomena ini tidak hanya menunjukkan sisi gelap komersialisasi spiritual, tetapi juga memotret lemahnya edukasi masyarakat terhadap penipuan berkedok agama.   Komersialisasi Spiritual: Penipuan yang Dibungkus Agama Penjualan garam rukiah menjadi salah satu bentuk bisnis yang dianggap mencederai nilai-nilai agama. Dengan mengklaim manfaat beragam—mulai dari melariskan usaha, mendekatkan jodoh, hingga menangkal gangguan mistis—produk ini dipasarkan tanpa dasar ilmiah maupun dukungan legitimasi dari para ahli agama. Bahkan, salah satu kasus yang diungkap menunjukkan penggunaan foto ulama terkenal seperti Syekh Ali Jaber (alm.) tanpa izin sebagai alat pemasaran.   Penipuan ini semakin berbahaya karena memanfaatkan keyakinan religius masyarakat, terutama yang memiliki kecenderungan mistis. Saat produk tidak memberikan hasil seperti yang dijanjikan, pembeli sering disalahkan atas “kurangnya ibadah” atau “kurangnya sedekah,” menciptakan lingkaran manipulasi yang sulit ditembus.   Kerugian Masyarakat Kecil Bisnis garam rukiah menjadi sangat menguntungkan bagi pelaku dengan omzet hingga miliaran rupiah per bulan, tetapi hal ini terjadi di atas penderitaan masyarakat kecil. Kelompok rentan, seperti masyarakat berpendapatan menengah ke bawah, menjadi target utama. Mereka, yang minim akses edukasi dan informasi, sering kali terjebak dalam logika mistis yang menggantikan pola pikir kritis.   Fenomena ini menunjukkan bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai spiritual dapat disalahgunakan. Dengan uang pas-pasan, mereka membeli produk yang sebenarnya tidak memiliki manfaat nyata, hanya untuk mendapatkan “ketenangan semu” yang dijual dengan harga mahal.   Peran Pemerintah dan Edukasi Masyarakat Minimnya intervensi dari pemerintah maupun regulator menjadi salah satu penyebab mengapa bisnis semacam ini terus berkembang. Produk seperti garam rukiah seharusnya diawasi, terutama karena banyak pelaku bisnis ini melanggar etika, bahkan menggunakan klaim keagamaan yang tidak berdasar.   Sebagai masyarakat, kita juga memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi satu sama lain. Tidak perlu menunggu perubahan besar; menyadarkan satu orang saja di sekitar kita sudah menjadi langkah berarti dalam memerangi fenomena ini.   Mencerdaskan Kehidupan Bangsa: Perjuangan Bersama Penipuan berkedok agama seperti bisnis garam rukiah bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga edukasi dan kesadaran sosial. Untuk melawan praktik ini, dibutuhkan kolaborasi dari semua pihak—masyarakat, pemerintah, hingga tokoh agama.   Meski sulit, mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah hal yang mustahil. Dengan langkah bersama, harapan untuk membangun masyarakat yang lebih kritis, rasional, dan teredukasi masih bisa diwujudkan. Mari kita mulai dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar.   Baca juga: Pelajar SMA di Puncak Bogor Jadi Korban Penipuan di TikTok, Rugi Rp 500 Ribu Tragedi Munich dan Perjalanan Karier George Best: Kisah Inspiratif dari Duka hingga Legenda Sejarah Mia San Mia: Filosofi Mendalam di Balik Kesuksesan Bayern Munich   Sumber: