LEFT-BACK.COM – Banjir besar yang melanda wilayah Jabodetabek pada awal Maret 2025 menjadi bukti nyata dampak dari kerusakan lingkungan di kawasan hulu serta buruknya penataan wilayah hilir. Alih fungsi lahan yang tidak terkendali di Puncak, Kabupaten Bogor, telah lama menjadi permasalahan yang diabaikan, dan kini konsekuensinya semakin terasa. Pada Minggu (2/3/2025), banjir bandang menerjang kawasan Puncak, disusul genangan besar yang melumpuhkan Jakarta hingga Bekasi. Pemerintah sebenarnya menyadari bahwa degradasi lingkungan di hulu berkontribusi signifikan terhadap potensi banjir di wilayah hilir. Hal ini terlihat dari kunjungan Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, dan Bupati Bogor Rudy Susmanto ke kawasan Puncak pada Kamis (6/3/2025). Namun, solusi nyata yang dinantikan publik tak kunjung hadir, dan respons pemerintah kembali hanya berupa tindakan jangka pendek. Alih Fungsi Lahan, Ancaman Ekologis di Hulu Kawasan Puncak, yang seharusnya menjadi penyangga ekologi, kini didominasi oleh vila dan tempat wisata. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang meninjau langsung lokasi alih fungsi lahan ilegal bahkan tak kuasa menahan haru melihat kondisi lingkungan yang semakin tergerus. Pemerintah merespons dengan menyegel beberapa bangunan yang diduga melanggar aturan, tetapi langkah ini dinilai reaktif dan belum menyentuh akar persoalan. Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (Celios), Zakiul Fikri, menekankan bahwa pemerintah daerah harus lebih ketat dalam mengevaluasi pembangunan di kawasan Puncak. Ia menegaskan pentingnya penelaahan izin usaha dan pendirian bangunan di kawasan tersebut. “Jika ditemukan pelanggaran yang bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), maka pemerintah daerah memiliki wewenang untuk membongkar bangunan dan menghentikan aktivitas non-kehutanan di area tersebut,” ujar Fikri pada Jumat (7/3/2025). Fikri menjelaskan bahwa mekanisme alih fungsi hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021, yang mencakup perubahan peruntukan kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan, serta penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan. Namun, ia menegaskan bahwa skema ini tidak mencakup kegiatan perkebunan, pariwisata, atau perumahan. “Kewenangan persetujuan alih fungsi hutan berada di tangan menteri, tetapi dalam beberapa kasus, seperti pembangunan fasilitas umum non-komersial dan pertambangan rakyat, gubernur bisa diberikan delegasi kewenangan,” tambahnya. Data Mengungkap Krisis Lingkungan Temuan Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa antara tahun 2000 hingga 2016, sekitar 5.700 hektare hutan alam di Puncak hilang, menyisakan hanya 21 persen dari total luas hutan di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Padahal, kawasan ini menjadi hulu bagi empat DAS utama, yaitu Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, dan Citarum. Data dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum-Ciliwung mencatat bahwa lahan sangat kritis di Puncak telah mencapai 4.600 hektare pada 2018. Sementara itu, laporan terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per Maret 2025 menunjukkan bahwa alih fungsi lahan di hulu Ciliwung telah melampaui 2.065 hektare. Fikri juga menyoroti potensi penyalahgunaan izin yang diterbitkan secara tidak sah di lahan-lahan yang seharusnya dilindungi. “Jika ada izin yang dikeluarkan di luar mekanisme yang sah, ini mengindikasikan adanya praktik ilegal di tingkat administrasi daerah,” ujarnya. Urgensi Perlindungan Hulu untuk Mencegah Banjir Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin, menegaskan bahwa pemerintah harus berani memberikan sanksi tegas kepada pelaku perusakan lingkungan yang tidak patuh terhadap regulasi di kawasan Puncak. Menurutnya, penegakan hukum harus berlandaskan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). “Pemerintah pusat dan daerah harus berkomitmen dalam menertibkan bangunan serta aktivitas yang tidak berizin, sekaligus memastikan pemulihan lingkungan di kawasan yang telah rusak,” kata Wahyudin. Ia juga menekankan bahwa para pelaku yang terbukti melanggar harus bertanggung jawab atas pemulihan ekosistem yang terdampak. Senada dengan Wahyudin, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah, menilai bahwa solusi jangka panjang memerlukan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Penyelarasan kebijakan tata ruang, daya tampung lingkungan, serta perencanaan pembangunan harus dilakukan secara sistematis. “Penataan ruang dan perizinan harus berbasis pada kajian ilmiah yang mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Pembenahan tidak hanya difokuskan pada hulu, tetapi juga mencakup keseluruhan wilayah Jabodetabek,” jelas Fajri. Ia juga menyoroti bahwa alih fungsi lahan yang tidak terkendali di hulu akan memperburuk kondisi banjir di hilir. Kawasan Puncak memiliki peran krusial dalam menyerap air hujan sebelum mengalir ke Jakarta dan sekitarnya. Jika lahan resapan air di hulu terus dialihkan untuk fungsi lain, volume air yang mengalir ke hilir akan semakin besar, memperparah risiko banjir. “Kondisi ini semakin diperparah dengan hilangnya fungsi resapan air di hilir, yang juga banyak dialihfungsikan untuk kepentingan lain. Keselarasan fungsi lahan di hulu dan hilir sangat menentukan efektivitas mitigasi banjir di Jabodetabek,” pungkasnya. Perubahan Paradigma Diperlukan Regulasi yang ada seharusnya mampu mencegah eksploitasi kawasan hutan, tetapi penerapannya sering kali lemah. Banyak bangunan berdiri tanpa izin yang sah, bahkan beberapa mendapat legalisasi setelah terlanjur dibangun. Penegakan hukum pun cenderung dilakukan setelah bencana terjadi, bukan sebagai upaya pencegahan. Jika pemerintah serius ingin mengakhiri siklus banjir di Jabodetabek, paradigma pengelolaan kawasan hulu harus diubah secara fundamental. Langkah konkret dan keberanian dalam menindak pelanggaran lingkungan harus menjadi prioritas. Air mata seorang pemimpin bisa mencerminkan kepedulian, tetapi tanpa kebijakan dan tindakan nyata, hal itu tidak akan menghentikan datangnya banjir. Baca juga: Kontroversi Patung Penyu di Alun-Alun Gadobangkong & Sejarah Konservasi Penyu di Pangumbahan Skandal Kualifikasi Piala Dunia 1990: Drama, Kecurangan, dan Konspirasi di Maracana PUISI – Suatu Malam
Tag: Alih Fungsi Lahan
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi Menangis, Alih Fungsi Lahan di Puncak Bogor Bikin Geram
LEFT BACK – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tak kuasa menahan emosi saat menyaksikan alih fungsi lahan yang dilakukan secara masif di kawasan wisata Puncak, Kabupaten Bogor, pada Kamis (6/3/2025). “Siapa yang memberikan izin ini? Dari segi regulasi, apakah bisa direkomendasikan untuk dicabut?” ujar Dedi saat berdiskusi dengan seorang petugas Kementerian Lingkungan Hidup di lokasi pembangunan Eiger Adventure Land, Megamendung, Bogor. Dari area wisata yang masih dalam tahap pembangunan tersebut, Dedi tampak terkejut melihat seberang lokasi, tepatnya di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), di mana sebuah bangunan tengah dibangun dan rencananya akan dihubungkan dengan jembatan gantung menuju Eiger Adventure Land. Eiger Adventure Land menjadi salah satu dari empat destinasi wisata yang disegel akibat dugaan pelanggaran alih fungsi lahan di kawasan Puncak. Empat Lokasi Wisata di Puncak Disegel Penyegelan ini dilakukan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Zulkifli Hasan, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, serta Bupati Bogor Rudy Susmanto. “Banyak laporan dari masyarakat mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan, termasuk banjir besar. Kami harus menegakkan aturan sesuai undang-undang yang berlaku,” tegas Zulkifli Hasan setelah melakukan penyegelan. Empat lokasi wisata yang disegel antara lain: 1. Pabrik Teh Ciliwung di Telaga Saat 2. Hibisc Fantasy 3. Bangunan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional 2 Agro Wisata Gunung Mas 4. Eiger Adventure Land Zulkifli juga mengisyaratkan bahwa dalam beberapa hari ke depan, penyegelan kemungkinan akan bertambah. Dugaan Pelanggaran Pidana Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengungkapkan bahwa ada indikasi pelanggaran pidana dalam pembangunan empat lokasi wisata tersebut. Pihaknya akan mendalami kasus ini lebih lanjut melalui proses penyidikan. “Kami melihat adanya indikasi pidana, dan langkah hukum akan dilakukan terhadap pihak-pihak terkait,” ujar Hanif. Berdasarkan hasil kajian, alih fungsi lahan ini turut berkontribusi terhadap bencana banjir yang menyebabkan kerugian material besar serta menelan korban jiwa. Pihak berwenang berkomitmen untuk menindaklanjuti kasus ini guna mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut. Baca juga: Kampung Anyar: Perjalanan Generasi dalam Melestarikan Kerajinan Rajutan di Puncak Bogor Polres Indramayu Ungkap Peredaran Uang Palsu, Ratusan Lembar Pecahan Rp100 Ribu Disita Angin Puting Beliung Terjang Dua Desa di Indramayu, Puluhan Rumah Rusak dan Lima Warga Terluka