Agama sebagai Komoditas: Ketika Kesucian Dipertontonkan, Diperjualbelikan, dan Dirayakan di Lini Masa

LEFT-BACK.COM – Aneh tapi nyata, di negeri ini, semakin nyeleneh seseorang berbicara soal agama, justru semakin tinggi peluangnya untuk viral. Ceramah yang dulunya identik dengan ketenangan dan kesantunan, kini menjelma menjadi hiburan, bahkan komedi. Gaya bertutur tak lagi semata-mata menyampaikan hikmah, tetapi dikemas seperti konten stand-up: penuh sindiran, bumbu makian, atau humor yang kadang terlalu jauh dari kesan religius. Fenomena ini mencuat tanpa harus dibungkus dengan label “influencer” atau strategi pemasaran konvensional. Cukup sandang gelar Habib, Ustaz, Gus, atau panggilan-panggilan yang menyiratkan otoritas keagamaan, seseorang bisa langsung melompat ke panggung digital. Di layar, tampilannya bisa saja sederhana—sebuah dialog santai, potongan ceramah pendek—tapi di balik layar, semua telah dikalkulasi secara rapi. Like, share, komentar, dan algoritma menjadi bahan bakar utama dari sebuah industri baru: industri agama. Di balik layar ini, agama dipoles jadi komoditas yang menjanjikan. Ada kanal YouTube dengan monetisasi aktif, undangan ceramah berbayar, jualan buku dan merchandise, hingga donasi digital yang dipoles dengan embel-embel dakwah. Agama yang dulu menjadi tempat berteduh dari hiruk-pikuk dunia, kini malah menjadi bagian dari hiruk-pikuk itu sendiri—beroperasi seperti mesin uang yang tak pernah berhenti. Pasar Indonesia terlalu sempurna untuk model bisnis semacam ini. Di tengah harga kebutuhan pokok yang terus melonjak, lapangan pekerjaan yang semakin sempit, dan tekanan hidup yang tiada habisnya, masyarakat mencari pegangan yang sederhana dan instan. Di titik ini, agama muncul bukan sekadar sebagai sistem keyakinan, melainkan sebagai solusi cepat atas kegelisahan hidup. Ia menawarkan harapan, keselamatan, dan makna. Dalam bentuk yang paling mentah, ia menjanjikan bahwa penderitaan adalah sementara. Kebutuhan akan rasa tenteram dan makna hidup ini, pada akhirnya, menjadikan agama sebagai produk yang sangat mudah dijual—dan tidak pernah kehilangan pembelinya. Tidak mengherankan jika setiap hari, lini masa kita dibanjiri potongan-potongan ceramah yang lebih mirip komedi daripada khutbah. Karena di dunia digital, cara penyampaian jauh lebih penting daripada isi. Konten yang nyeleneh dan kontroversial cenderung lebih disukai, lebih dibagikan, dan akhirnya lebih menguntungkan. Di sinilah agama hadir sebagai produk yang dikemas ulang—bukan lagi semata untuk menyampaikan kebenaran, tetapi untuk menarik perhatian dan menghasilkan konversi klik menjadi uang. Di era digital, perhatian adalah mata uang paling berharga. Maka, ceramah bukan sekadar nasihat, melainkan performa. Bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi menjual citra. Agama, pada akhirnya, menjadi merek yang bisa dikelola, dimonetisasi, bahkan diwaralabakan. Dahulu, untuk belajar agama, seseorang harus menempuh perjalanan ke pesantren, atau duduk berjam-jam dalam majelis ilmu. Kini, cukup membuka ponsel, masuk ke YouTube, TikTok, atau Instagram, dan dalam hitungan detik seseorang sudah bisa ‘menyerap’ nilai-nilai agama yang dikemas dalam gaya jenaka, penuh efek, dan disesuaikan dengan selera pasar. Fenomena ini tumbuh subur bukan hanya karena teknologi yang memudahkan, tetapi karena Indonesia sendiri adalah lahan yang amat subur bagi segala hal yang berbau religius. Mayoritas penduduknya beragama, dan memiliki kebutuhan spiritual yang sangat tinggi. Dalam masyarakat seperti ini, agama bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga menjadi identitas sosial, tolok ukur moralitas, bahkan standar kesalehan yang digunakan untuk menilai seseorang. Tak heran jika agama pun dilibatkan dalam hampir semua aspek kehidupan, termasuk ekonomi. Ceramah berubah menjadi seminar spiritual, kitab suci dikemas menjadi e-book motivasi, dan pakaian religius dipasarkan sebagai produk lifestyle. Dari gamis, peci, sampai parfum yang disebut-sebut digunakan oleh Nabi—semua menjadi bagian dari rantai industri yang mengepung kehidupan sehari-hari. Para penceramah pun bukan lagi sekadar penyampai dakwah, tetapi pelaku branding. Mereka membangun personal brand, meluncurkan kanal YouTube, menjual merchandise, hingga menulis buku motivasi berbalut agama. Mereka sadar, dalam dunia digital, mereka bukan hanya da’i, tetapi juga content creator. Dan seperti content creator lainnya, mereka harus tahu apa yang laku di pasar. Tren ini mengaburkan batas antara dakwah dan dagang. Ketika seorang penceramah lebih dikenal karena gaya bicaranya yang “receh”, daripada kedalaman ilmunya, maka kita sedang menyaksikan pergeseran nilai: dari ilmu menuju impresi, dari kebijaksanaan menuju gimmick. Namun, tak semua hal tentang fenomena ini bersifat negatif. Di satu sisi, digitalisasi agama memang membuka akses yang lebih luas. Banyak orang yang sebelumnya sulit mengakses kajian, kini bisa belajar agama dari rumah. Tapi di sisi lain, kemudahan akses ini juga membuka peluang eksploitasi. Ketika agama mulai diukur berdasarkan jumlah followers, viewer, atau seberapa viral kontennya, maka substansi bisa terpinggirkan. Ketulusan berubah jadi strategi. Kesucian jadi komoditas. Lebih jauh, loyalitas audiens tak hanya berujung pada dukungan moral, tetapi juga materi. Dari donasi sukarela, pembelian produk, hingga crowdfunding untuk “misi dakwah”, semua dirancang agar pengikut merasa menjadi bagian dari perjuangan spiritual, padahal sejatinya mereka sedang memberi ruang pada industri berbasis agama yang makin rapi dan profesional. Dalam konteks ini, agama bukan lagi sekadar penghubung antara manusia dan Tuhan. Ia juga menjadi alat untuk membangun relasi kuasa: siapa yang paling didengar, paling diikuti, dan paling “berpengaruh” adalah mereka yang punya posisi tawar tertinggi di ruang publik digital. Di tengah semua ini, yang paling mencemaskan adalah bagaimana masyarakat mulai menerima semua ini tanpa sekat. Ketika konten-konten keagamaan yang penuh makian dianggap sebagai “gaya khas”, ketika dakwah bernuansa ejekan dilihat sebagai hiburan segar, ketika popularitas lebih diprioritaskan ketimbang akurasi dan adab—di sanalah kita harus bertanya: sejauh mana agama masih menjadi cahaya, dan sejak kapan ia menjadi panggung? Indonesia adalah negeri religius yang dibentuk oleh sejarah panjang tradisi spiritual. Namun, dalam era industri digital, religiusitas kita mengalami transformasi radikal. Kita mulai menyaksikan bagaimana agama, yang semestinya menjadi jalan sunyi menuju kedalaman batin, kini dipentaskan di layar kaca, dijual dalam bentuk paket praktis, dan dikonsumsi dalam tempo yang cepat. Dan seperti semua komoditas lainnya, agama pun akhirnya kehilangan sebagian makna sucinya ketika ia terlalu sering ditampilkan, dipermainkan, dan diperdagangkan. Ia tidak mati, tapi berubah bentuk. Dari substansi menuju simbol. Dari makna menuju mekanisme pasar. Pertanyaannya kini adalah: akankah kita menyadari bahwa di tengah suara-suara yang nyaring, kita justru kehilangan hening? Dan di tengah tawa yang ditawarkan oleh dakwah digital, kita barangkali sedang melupakan tangisan batin yang sebenarnya lebih perlu didengar. Baca juga: Satu Rahim, Dua Ideologi: Pertarungan Abadi di Jantung Milan Angel Di Maria: Jalan Panjang Sang Sayap Kidal Menuju Puncak Dunia

Menyusuri Napoli: Ketika Sepak Bola Menjadi Agama, dan Maradona Menjadi Nabinya

LEFT-BACK.COM – Napoli menyimpan pelajaran berharga bahwa cinta sejati hadir dalam berbagai bentuk. Di kota ini, cinta sejati terpancar melalui hubungan erat antara sepak bola dan sosok legendaris Diego Armando Maradona. Kota Pemujaan untuk Maradona Napoli menjadi rumah bagi salah satu situs pemujaan Maradona terbesar di dunia, yaitu Mural Maradona di distrik Spanish Quarter. Tempat ini bukan sekadar mural biasa, melainkan simbol keagungan dan penghormatan dari masyarakat yang menjadikan Maradona sebagai ikon spiritual mereka. Di tiap sudut kota, jejak Maradona terlihat nyata. Mulai dari gantungan kunci hingga patung-patung mini, bahkan foto wajahnya kerap disejajarkan dengan gambar Bunda Maria. Ini menegaskan bahwa Napoli memandang Maradona tidak hanya sebagai pemain sepak bola, tetapi sebagai simbol harapan dan identitas. Perjalanan Menuju Napoli Napoli adalah kota dengan karakter kuat yang langsung menyambut dengan pemandangan jalanan semrawut, sampah berserakan, dan grafiti seperti “Tourist Go Home.” Namun, kekacauan itu menjadi gambaran kehidupan nyata kota yang berbeda dari stereotip glamor Italia bagian utara. Spanish Quarter, lokasi Mural Maradona, merupakan kawasan padat penduduk yang penuh dengan lorong-lorong sempit dan arsitektur bangunan tua. Meski demikian, mural ini berdiri megah di tengah permukiman tersebut, menjadi simbol perjuangan dan kebanggaan warga Napoli.     Kesetiaan Napoli pada Sepak Bola Bagi Napoli, sepak bola adalah lebih dari sekadar olahraga. Ia adalah “agama,” dan Maradona adalah “nabinya.” Sejak kedatangannya pada 1984 dengan rekor transfer fantastis, Maradona membawa perubahan besar bagi Napoli. Dua gelar Serie A dan satu Piala Liga Eropa berhasil diraih di bawah kepemimpinannya, pencapaian yang sebelumnya tak terbayangkan oleh klub ini. Keberhasilan itu tidak hanya membangkitkan kepercayaan diri warga, tetapi juga menjadi bentuk perlawanan simbolis terhadap dominasi Italia utara yang kaya dan makmur. Bagi Napoli, kemenangan di lapangan sepak bola adalah cara mereka menunjukkan bahwa kota ini layak dihormati, meski sering dipandang sebelah mata. Dualitas Napoli: Kekacauan dan Keajaiban Napoli adalah kota penuh kontradiksi. Di satu sisi, ia adalah tempat yang semrawut, dengan tingkat pengangguran tinggi dan reputasi keamanan yang buruk. Di sisi lain, ia menawarkan keramahan warga yang hangat dan cerita-cerita inspiratif yang sulit ditemukan di tempat lain. Napoli bukanlah kota yang sempurna, tetapi justru dalam ketidaksempurnaannya itulah keajaiban dan pelajaran hidup muncul. Cinta sejati Napoli terhadap Maradona dan sepak bola adalah bukti bahwa keajaiban bisa lahir dari tempat yang tidak terduga. Penutup Napoli mengingatkan bahwa cinta sejati dapat mengambil berbagai bentuk. Di kota ini, cinta itu menjelma dalam ikatan tak terputus antara sepak bola dan Maradona—dua elemen yang bersama-sama membawa harapan, kebanggaan, dan identitas bagi masyarakatnya.   Baca juga: Zdeněk Zeman: Filosofi Sepak Bola di Tengah Kontroversi dan Revolusi West Ham United vs Millwall: Filosofi, Sejarah, dan Rivalitas yang Mendalam Tragedi Munich dan Perjalanan Karier George Best: Kisah Inspiratif dari Duka hingga Legenda