LEFT-BACK.COM – Sepak bola, bagi banyak orang, hanyalah permainan. Namun, sejarah membuktikan bahwa sepak bola bisa menjadi panggung perlawanan politik. Dari Brasil hingga Uni Soviet, dari Spanyol hingga Argentina, para pesepakbola pernah berdiri melawan tirani, menyuarakan keadilan, dan menolak tunduk pada penguasa otoriter. Kini, ketika wacana tentang RUU TNI mencuat dan menimbulkan perdebatan mengenai potensi militerisme dalam kehidupan sipil, refleksi atas sejarah perlawanan dalam sepak bola menjadi relevan.
Socrates dan Democracia Corinthiana
Brasil di era 1980-an berada di bawah kediktatoran militer. Pemerintah mengekang kebebasan berpendapat, membatasi demokrasi, dan menekan berbagai elemen masyarakat. Di tengah situasi itu, muncul seorang pesepakbola bernama Socrates. Ia bukan hanya seorang playmaker berbakat, tetapi juga seorang intelektual dan aktivis yang percaya bahwa sepak bola bisa menjadi alat perubahan sosial.
Bersama rekan-rekannya di Corinthians, ia menggagas Democracia Corinthiana, sebuah sistem di mana keputusan klub dibuat secara demokratis oleh pemain dan staf, tanpa tekanan dari manajemen atau pemerintah. Socrates bahkan menggunakan popularitasnya untuk mendorong rakyat Brasil agar memilih demokrasi dalam referendum nasional. Baginya, sepak bola bukan hanya hiburan, melainkan juga medan perjuangan.
Oleg Kuznetsov dan Tekanan Uni Soviet
Di Eropa Timur, sepak bola juga pernah menjadi alat perlawanan terhadap rezim otoriter. Uni Soviet terkenal dengan kontrol ketatnya terhadap semua aspek kehidupan, termasuk olahraga. Para pemain harus patuh pada negara, bahkan banyak klub besar dimiliki oleh militer atau kepolisian. Namun, ada beberapa pemain yang berani berbicara.
Oleg Kuznetsov, bek tangguh Soviet, dikenal tidak hanya karena kemampuannya di lapangan, tetapi juga karena sikapnya yang enggan menjadi alat propaganda negara. Meski tidak melakukan perlawanan terbuka seperti Socrates, ia tetap menunjukkan sikap kritis terhadap kontrol pemerintah atas sepak bola dan kebebasan individu. Sikap semacam ini, dalam negara otoriter, adalah bentuk perlawanan yang berisiko.
Sepak Bola di Tengah Otoritarianisme
Sejarah mencatat banyak pemain yang menolak tunduk pada rezim diktator: dari Diego Maradona yang menentang kebijakan neoliberalisme hingga pemain Spanyol yang menolak Franco. Mereka membuktikan bahwa sepak bola lebih dari sekadar permainan. Ia bisa menjadi senjata melawan ketidakadilan.
Kini, di Indonesia, disahkannya RUU TNI kembali membuka perdebatan tentang peran militer dalam kehidupan sipil. Beberapa pihak khawatir bahwa kebijakan ini akan membuka jalan bagi kontrol yang lebih luas dari institusi bersenjata terhadap ranah publik. Dalam konteks ini, melihat kembali sejarah perlawanan dalam sepak bola menjadi penting.
Pertanyaannya, apakah sepak bola Indonesia juga bisa menjadi ruang perlawanan? Atau justru, seperti yang sering terjadi, ia akan dikooptasi oleh kekuasaan? Sejarah memberikan contoh bahwa sepak bola bisa menjadi alat perubahan. Tinggal bagaimana para pemain, pelatih, dan suporter memilih untuk bersikap.
Pada akhirnya, seperti kata Socrates, “Tanpa kebebasan, tidak ada sepak bola yang sesungguhnya.”
Baca juga:
Gelombang Aksi Tolak Revisi UU TNI di Berbagai Kota Berujung Represi Aparat
Misteri Pembunuhan JFK: Fakta Baru dari Ribuan Dokumen yang Dideklasifikasi
Lebih dari Sekadar Angka: Persib 1933 dan Arti Sebuah Warisan