Left-back.com – Di kota Milan, sepak bola bukan sekadar olahraga. Ia adalah identitas, sejarah, dan bahkan medan ideologis yang membelah kota menjadi dua kutub emosi. Di satu sisi berdiri Associazione Calcio Milan—AC Milan, dengan merah-hitam sebagai simbol perlawanan, kerja keras, dan api yang tak pernah padam. Di sisi lain, Football Club Internazionale Milano—Inter Milan, dengan biru-hitam sebagai lambang elegansi, kebebasan, dan semangat kosmopolitan. Namun, sebelum keduanya menjadi rival abadi dalam Derby della Madonnina, mereka adalah satu tubuh yang sama.
Akar sejarah dua klub ini berakar pada satu titik: 16 Desember 1899. Sejumlah ekspatriat asal Inggris mendirikan Milan Football and Cricket Club. Tokoh sentralnya adalah Herbert Kilpin, pria asal Nottingham yang memandang sepak bola bukan sekadar hiburan, tetapi bahasa universal untuk menyatukan manusia. Kilpin memilih warna merah dan hitam untuk menggambarkan semangat dan ketakutan yang akan dihadirkan timnya kepada lawan. Dari sinilah lahir julukan legendaris “Rossoneri”—si merah-hitam.
Namun, sejarah tak pernah berjalan lurus. Ketika rezim fasis di Italia mulai menekan unsur-unsur asing, Milan Football and Cricket Club terpaksa merubah identitasnya menjadi Associazione Calcio Milano pada tahun 1938. Ini adalah bentuk kompromi terhadap nasionalisme fasis yang mengharamkan nama-nama dan unsur asing. Meski begitu, semangat merah-hitam tetap membara.
Pertikaian internal mulai muncul jauh sebelum itu, tepatnya pada 9 Maret 1908. Dalam tubuh Milan terjadi perbedaan visi: satu pihak ingin menjaga klub tetap lokal dan nasionalis, sementara pihak lain ingin membuka pintu lebih luas untuk pemain asing. Perselisihan itu tak terhindarkan. Dari perceraian ideologis ini lahirlah klub baru bernama Internazionale Milano—Inter Milan. Nama yang dengan jelas menyiratkan nilai-nilai keterbukaan, internasionalisme, dan inklusivitas. Sejak saat itu, kota Milan tak lagi satu suara.
Uniknya, meski keduanya berseteru, mereka berbagi rumah: Stadion San Siro, atau Giuseppe Meazza jika dilihat dari kacamata Inter. Di sinilah setiap benturan kedua tim menjadi drama penuh gairah, yang lebih dari sekadar tiga poin. Derby della Madonnina, nama derby ini, diambil dari patung Bunda Maria yang berdiri di puncak Katedral Duomo Milan. Pertandingan ini bukan hanya soal sepak bola, tapi tentang klaim atas identitas kota itu sendiri.
Di jalanan Milan, bahkan status sosial memiliki warna. AC Milan lama dikenal sebagai klub kelas pekerja—“Casciavit” atau “si tukang obeng”—julukan yang menggambarkan akar rumput, kerja keras, dan solidaritas. Sementara Inter Milan sering diasosiasikan dengan kalangan borjuis, kaum berada, dan dikenal dengan sebutan “Bauscia”—si sombong. Sebutan ini tentu telah melebur dan berubah dengan zaman, namun jejak-jejak identitas itu tetap terasa dalam nuansa suporter dan kultur pertandingan.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa rivalitas tak selalu berarti permusuhan. Dalam berbagai momen, kedua klub ini justru saling melengkapi wajah sepak bola Milan dan Italia. Ketika AC Milan mendominasi Eropa di era Arrigo Sacchi dan Carlo Ancelotti, Inter membangun kekuatan domestik yang stabil. Sebaliknya, ketika Inter memenangkan treble pada 2010 bersama Jose Mourinho, Milan sedang dalam fase transisi.
Kini, di era sepak bola modern yang digerakkan oleh investasi dan globalisasi, kedua klub masih memelihara api rivalitas itu. Tapi api yang menyala bukan lagi sekadar soal darah atau kelas sosial, melainkan tentang bagaimana sejarah dan identitas tetap menjadi daya hidup dalam pusaran industri olahraga.
Karena di Milan, cinta yang terdalam kadang bukan tentang menyatu, tapi tentang terus bertarung dalam saling menghormati. Dan itulah yang menjadikan Derby della Madonnina bukan sekadar pertandingan, melainkan perayaan identitas, sejarah, dan semangat yang tak pernah usang.
Baca juga:
Menyusuri Napoli: Ketika Sepak Bola Menjadi Agama, dan Maradona Menjadi Nabinya
Totti vs Del Piero: Ketika Sepakbola Italia Menjadi Panggung Seni dan Perang