Pramoedya Ananta Toer: Perjalanan Hidup, Pemikiran, dan Warisan Abadi

LEFT-BACK.COM – Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya disebut Pram) adalah salah satu sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia. Sosok yang sepanjang hidupnya berjuang dengan kata-kata ini menghembuskan napas terakhirnya pada 30 April 2006, di usia 81 tahun.

 

Kondisi kesehatannya yang terus memburuk membuatnya harus dirawat di Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, sebelum akhirnya dipindahkan ke Intensive Care Unit (ICU). Namun, Pram memilih kembali ke rumahnya di Utan Kayu, Jakarta Timur. Tiga hari setelah kepulangannya, ia meminta rokok kretek kesayangannya, sebelum akhirnya meninggal dunia pada pukul 09.15 WIB.

 

Sebelum berpulang, Pram telah lama berbicara tentang kematian. Dalam Pram Melawan! Dari Perkara Sex, Lekra, Sampai Proses Kreatif (2011), ia menyatakan bahwa dirinya tak takut mati karena merasa sudah menyelesaikan apa yang perlu dikerjakan. “Kalau aku mati jangan bikin apa-apa, jangan didoain segala, langsung saja bawa ke krematorium. Bakar di sana. Abunya bawa pulang. Mau dibuang juga terserah. Tapi, kalau bisa, wadahi dan taruh di perpustakaanku,”

 

Namun, kehendaknya tidak sepenuhnya terwujud. Alih-alih dikremasi, jenazahnya disalatkan dan dikebumikan di TPU Karet Bivak, Jakarta.

 

Masa Kecil dan Latar Belakang Keluarga

 

Pram lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah, dari keluarga nasionalis. Ayahnya, M. Toer, berasal dari keluarga Bupati Kediri, berprofesi sebagai guru, dan aktif dalam politik dengan menjabat sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Blora. Ia juga seorang penulis dalam bahasa Jawa, menciptakan lagu-lagu rakyat, serta menulis buku teks yang tidak mengikuti kurikulum kolonial.

 

Ibunya, Saidah, berasal dari keluarga penghulu di Kabupaten Rembang dan memiliki latar belakang pendidikan yang kuat. Ia pernah belajar di sekolah dasar Belanda serta mendapatkan pendidikan privat dari guru-guru Belanda yang diundang oleh keluarganya. Namun, kondisi ekonomi keluarga yang sulit membuat Saidah harus ikut mencari nafkah, sesuatu yang sering memicu konflik rumah tangga.

 

Pram tumbuh dalam persimpangan dua budaya: Islam pesisir dari ibunya dan Islam pedalaman dari ayahnya. Dalam Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia (2011), Pram menyebut bahwa Islam pesisir lebih murni dibandingkan Islam pedalaman. Kedua orang tuanya memiliki jiwa patriotik yang kuat, dan sejak kecil, Pram dididik untuk menjadi manusia yang mandiri dan tak malu bekerja.

 

Pendidikan dan Awal Perjuangan

 

Sejak kecil, Pram sudah menunjukkan ketertarikan terhadap dunia literasi. Namun, perjalanan akademiknya tidak mudah. Ia tiga kali tidak naik kelas di Sekolah Budi Utomo, Blora, tempat ayahnya menjadi kepala sekolah. Karena kecewa, ayahnya mengeluarkannya dari sekolah dan mendidiknya sendiri selama setahun dengan disiplin keras.

 

Setelah lulus pada 1939, ia ingin melanjutkan ke sekolah menengah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), tetapi ayahnya menolak. Akhirnya, Pram belajar di Radio Vakschool Surabaya pada 1940, dengan biaya dari hasil usaha ibunya menjual padi. Di sana, ia mendalami teknik kelistrikan berdasarkan buku-buku pamannya yang bekerja di Kaledonia Baru.

 

Setelah lulus, Pram bekerja di Kantor Berita Jepang, Domei, sebagai juru tik. Di tempat inilah ia menyaksikan langsung perubahan politik yang terjadi di Indonesia menjelang kemerdekaan.

 

Keterlibatan dalam Revolusi dan Awal Karier Sastra

 

Pada Oktober 1945, Pram bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan ditempatkan di Cikampek dalam kesatuan Banteng Taruna. Tak lama, ia diangkat menjadi letnan dua dan memimpin pasukan yang beroperasi di berbagai wilayah seperti Bekasi, Cakung, dan Karawang.

 

Saat bertugas sebagai tentara, Pram menulis novel pertamanya Sepuluh Kepala Nica, yang sayangnya hilang. Namun, pengalaman ini menjadi inspirasi bagi karya-karyanya di masa mendatang.

 

Pada 1947, Pram ditangkap oleh tentara Belanda saat menjalankan tugas sebagai jurnalis perlawanan. Selama dipenjara di Pulau Edam, ia menyelundupkan tulisan-tulisannya ke berbagai majalah, termasuk Mimbar Indonesia dan Siasat. Karya-karyanya, seperti Perburuan dan Keluarga Gerilya, menjadi saksi bisu perjuangannya.

 

Foto: Makam Pramoedya Ananta Toer di TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat. Doc. X/@cloudread.

 

Dunia Sastra dan Gelombang Politik

 

Setelah dibebaskan pada 1949, Pram bekerja di Balai Pustaka dan mulai membangun kariernya sebagai sastrawan. Ia banyak menulis novel dan esai yang berfokus pada sejarah, sosial, dan perjuangan rakyat kecil.

 

Pada akhir 1950-an, ia semakin aktif dalam gerakan budaya, termasuk bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini membuatnya menjadi sasaran rezim Orde Baru setelah peristiwa 1965. Tanpa pengadilan, Pram ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru selama 14 tahun.

 

Di Pulau Buru, ia menulis Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang kelak dikenal sebagai Tetralogi Buru. Meskipun rezim Soeharto melarang peredaran buku-bukunya, karya-karya ini tetap menyebar luas dan menjadi simbol perlawanan intelektual.

 

Warisan dan Pengaruh Pramoedya Ananta Toer

 

Setelah dibebaskan pada 1979, Pram tetap menjadi sosok yang kontroversial. Ia terus menulis dan berbicara tentang kebebasan berpendapat, hak asasi manusia, dan sejarah Indonesia yang dianggapnya dipalsukan oleh rezim Orde Baru.

 

Karya-karyanya tidak hanya memengaruhi sastra Indonesia tetapi juga mendapat pengakuan internasional. Ia menerima berbagai penghargaan, termasuk Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts pada 1995.

 

Menjelang akhir hayatnya, Pram tetap berpegang pada keyakinannya. “Sudah saya menulis apa yang ingin saya tulis. Sudah saya punya apa yang ingin saya punya,” katanya dua bulan sebelum wafat.

 

Kini, meskipun ia telah tiada, pemikirannya tetap hidup dalam karya-karyanya. Seperti yang ia tuliskan dalam Bumi Manusia, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” Kalimat ini terus menggema, menginspirasi generasi baru untuk tidak hanya membaca sejarah, tetapi juga turut menuliskannya.

 

Baca juga:

Misteri Makam Palsu di Indonesia: Antara Kesalahan, Mitos, atau Sengaja Diciptakan?

Kesepian: Pengalaman Hakiki yang Melekat pada Kehidupan Manusia

Perjalanan Hidup Sang Legenda: John Lennon, Gugur Tragis di Tangan Penggemar Fanatik