LEFT-BACK.COM – Siang itu, matahari bersinar terik, seolah tak memberikan celah bagi kami untuk bernapas lega. Bersama rombongan peziarah, saya harus menyeberang menggunakan perahu motor menuju makam Mbah Panjalu yang berada di tengah pulau kecil bernama Nusa Gede.
Secara bergantian, kami menyeberangi Situ Lengkong selama sekitar 10–20 menit. Makam yang juga dikenal sebagai peristirahatan terakhir Prabu Hariang Kencana ini terletak di sebuah pulau seluas 16 hektare. Masyarakat percaya bahwa tokoh tersebut merupakan penyebar ajaran Islam di wilayah Ciamis, Jawa Barat.
Setibanya di pulau, sebuah gapura menyambut kedatangan peziarah. Di bawah lindungan peci dan kerudung, kami menaiki puluhan anak tangga yang dikelilingi pepohonan rindang, tempat kelelawar bergelantungan. Meski cuaca panas, suasana sekitar terasa sejuk dan menenangkan.
Beberapa anggota rombongan membawa botol air mineral, sesekali menyeruputnya untuk mengusir rasa haus. Setibanya di area makam, atmosfer berubah menjadi lebih khidmat. Di tengah teriknya siang, muncul perasaan sejuk yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
“Hayang naraon karah tujuan kadarieu téh? (Mau apa sebenarnya kalian datang ke sini?)” tanya seorang kuncen atau penjaga makam sambil membelakangi pusara.
“Ah, kami mah hayang salamet dunia ahérat wé. (Kami hanya ingin keselamatan dunia dan akhirat),” jawab salah satu perwakilan rombongan.
Kuncen kemudian menjelaskan bahwa banyak peziarah datang dengan berbagai tujuan—dari mencari kekayaan, berharap naik jabatan, memohon jodoh, hingga keinginan lainnya.
Namun, ada kejanggalan. Area makam tampak lengang, berbeda dengan ramainya antrean perahu motor saat berangkat. Hanya segelintir peziarah yang sudah lebih dulu duduk bersila dan berdoa dengan khusyuk.
Kami pun melaksanakan doa dengan diawali tawasul dan tahlil. Angin sepoi-sepoi yang tiba-tiba berembus menambah kesejukan di tengah panasnya siang.
Usai berziarah, kami kembali ke daratan dan berbincang sambil menikmati bekal yang dibawa dari rumah. Di tengah obrolan, muncul dugaan bahwa kami telah diarahkan ke makam yang keliru—bukan makam Mbah Panjalu yang sesungguhnya. Perbedaan rute kapal saat pergi dan pulang menimbulkan spekulasi, apakah ini kesalahan pemandu atau sopir kapal?
Pernyataan kuncen yang seakan menggiring peziarah agar memiliki tujuan lain—seperti kekayaan dan jabatan—semakin menambah kecurigaan. Hingga hari ini, kejadian belasan tahun lalu itu masih menyisakan tanda tanya besar. Apakah murni keteledoran atau justru ada praktik tertentu di baliknya? Ataukah makam tersebut hanya replika?

Fenomena Makam Palsu: Antara Keyakinan dan Komersialisasi
Belakangan ini, pembongkaran makam-makam palsu di Ngawi dan Mojokerto menjadi sorotan publik. Makam-makam tersebut diduga dibangun berdasarkan mimpi atau firasat tanpa bukti kuat, bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
Pembongkaran dilakukan oleh warga setempat bersama Pejuang Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI LS) dan pemerintah desa. Tujuannya adalah meluruskan sejarah dan memastikan keaslian makam yang sebenarnya.
Bagi sebagian orang, keberadaan makam palsu terdengar aneh. Namun, fenomena ini bukan hal baru, terutama di Pulau Jawa. Secara umum, makam palsu dibuat menyerupai makam asli, lengkap dengan nisan dan elemen khas lainnya, tetapi tanpa jenazah di dalamnya.
Tidak jarang, makam palsu digunakan untuk menarik wisatawan atau peziarah. Beberapa tempat bahkan menjadikannya sebagai bagian dari destinasi religi yang dianggap sakral. Biasanya, lokasi ini dibalut dengan narasi mistis atau legenda untuk menambah daya tariknya.
Seperti yang ditulis Ziaulhaq Hidayat dalam Kuasa Kelas Bawah dan “Bisnis Berkah” di Makam Wali (2019), praktik ini sering ditemukan di tempat yang dikeramatkan karena memiliki makna spiritual bagi pengelola maupun peziarah.
Selain untuk kepentingan spiritual, makam palsu juga dibuat sebagai bentuk penghormatan atau legitimasi terhadap tokoh tertentu. Namun, ada pula kritik yang menyebutnya sebagai praktik menyesatkan.
Pada Agustus 2024, warga Citepus, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, membongkar 41 makam keramat palsu yang diduga sengaja dibangun untuk keuntungan finansial. Polisi bahkan mengamankan seorang pria berinisial J, yang diyakini sebagai dalang di balik pembangunan makam-makam tersebut.
Fenomena makam palsu tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada tahun 2022, Israel dilaporkan membangun ratusan kuburan palsu di sekitar Masjid Al-Aqsa sebagai bagian dari propaganda sejarah. Ahmad Abu Halibiyeh, perwakilan Komite Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa, mengungkapkan bahwa lebih dari 500 makam palsu sengaja dibuat untuk mengklaim keberadaan Yahudi di wilayah tersebut.
Di Mesir Kuno, makam palsu bahkan menjadi strategi untuk mengecoh perampok yang mencari harta karun para Firaun. Seperti dijelaskan oleh Rudiyant dalam Misteri Lembah Para Firaun yang Tanpa Pewaris (2023), makam asli sering disembunyikan di tempat terpencil atau di bawah tanah agar sulit ditemukan.
Dampak Makam Palsu terhadap Sejarah dan Budaya
Makam sering kali dianggap sakral dan memiliki nilai spiritual yang tinggi. Peziarah datang tidak hanya untuk berdoa, tetapi juga mengenang jasa tokoh yang dimakamkan di sana.
Dalam masyarakat, makam wali atau ulama sering menjadi pusat spiritual dan sejarah. Namun, makam palsu menciptakan mitos tanpa dasar yang bisa mengaburkan fakta historis. Akibatnya, pemahaman terhadap sejarah dan budaya bisa menjadi bias.
Sebagaimana dijelaskan Machi Suhadi dan Halina Hambali dalam Makam-makam Wali Sanga di Jawa (1994), bentuk dan hiasan kubur sering kali diperindah untuk memperkuat karisma leluhur. Sayangnya, makam palsu justru berpotensi mendistorsi sejarah dengan menciptakan narasi baru yang tidak berdasarkan fakta.
Beberapa kelompok bahkan sengaja mengklaim makam tokoh terkenal di daerah mereka untuk mendongkrak citra wilayah dan meningkatkan jumlah peziarah. Namun, jika makam yang dikunjungi ternyata hanya replika, kepercayaan masyarakat bisa terguncang.
Henri Chambert-Loir dalam Ziarah dan Wali di Dunia Islam (2007) menjelaskan bahwa banyak petilasan atau jejak perjalanan tokoh legendaris sering keliru dikira sebagai makam asli, padahal hanya menjadi tempat persinggahan mereka.
Upaya Verifikasi oleh Arkeolog dan Sejarawan
Di masa lalu, pencatatan sejarah tidak seketat sekarang, sehingga rentan terhadap distorsi. Oleh karena itu, arkeolog dan sejarawan berperan penting dalam meneliti keabsahan makam.
Dengan bantuan teknologi modern seperti analisis DNA dan pemindaian tanah, para ahli bisa memastikan apakah sebuah makam benar-benar milik tokoh yang diklaim.
Pada masa Orde Baru, misalnya, Presiden Soeharto pernah membangun makam “Raden Wijaya” di Trowulan. Namun, menurut Prof. Ayatrohaedi dalam Menelusuri Jejak Seni Purbakala Indonesia (2020), bagian makam yang tidak memiliki dasar arkeologis seharusnya dibongkar agar tidak menyesatkan masyarakat.
Makam palsu yang dibiarkan berlarut-larut bisa menyebabkan hilangnya identitas budaya yang sebenarnya. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dalam menyikapi informasi sejarah dan lebih mengutamakan penelitian berbasis bukti.
Baca juga:
Polda Jabar Identifikasi 6 dari 8 Korban Kecelakaan di Gerbang Tol Ciawi Bogor
Jejak Sejarah Padi di Nusantara: Dari Kedatangan Austronesia hingga Warisan Budaya
Kampung Mojokencot: Desa yang Nyaris Hilang, Tak Terlihat di Google Maps