LEFT-BACK.COM – Apa jadinya jika sebuah perusahaan minuman energi tidak hanya ingin menjual produk tetapi juga menguasai dunia olahraga? Red Bull, merek yang identik dengan energi dan keberanian, telah mengubah cara dunia memandang sponsor olahraga. Dari BMX hingga Formula 1, dan akhirnya ke sepak bola, perusahaan ini tak sekadar berinvestasi, melainkan menciptakan sistem multi-klub global yang revolusioner. Namun, di balik kesuksesan ini, ada kisah kontroversi, ambisi tanpa batas, dan strategi bisnis yang membuat banyak pihak kagum sekaligus geram.
Asal Usul Red Bull: Transformasi Kratingdaeng
Kisah Red Bull bermula pada 1982, ketika Dietrich Mateschitz—atau akrab disapa Didi—yang saat itu bekerja sebagai eksekutif pemasaran di perusahaan Procter & Gamble, melakukan perjalanan ke Thailand. Dalam perjalanannya, ia bertemu Chaleo Yoovidhya, pemilik merek minuman energi lokal bernama Kratingdaeng.
Didi yang merasa lelah akibat jet lag mencoba minuman tersebut dan langsung merasakan energi yang luar biasa. Ia pun melihat potensi besar Kratingdaeng untuk sukses di pasar Eropa. Pada 1984, Didi dan Chaleo sepakat membentuk kemitraan. Didi menginvestasikan $500 ribu untuk mendapatkan 49% saham perusahaan, sementara Chaleo mempertahankan 49%, dan sisanya 2% diberikan kepada anak Chaleo.
Pada 1987, Kratingdaeng diperkenalkan ke pasar Eropa dengan nama Red Bull—yang secara harfiah berarti “Banteng Merah,” adaptasi dari nama Thailandnya. Awalnya, minuman ini sulit diterima di Eropa karena konsep minuman energi masih asing. Namun, strategi pemasaran Didi yang brilian berhasil menarik perhatian, bahkan hingga orang-orang rela menyeberang ke Austria hanya untuk membeli Red Bull.
Baca juga: Ali Ben Nasser: Wasit di Balik Momen Ikonik Tangan Tuhan Maradona
Ekspansi Red Bull ke Dunia Olahraga
Seiring kesuksesannya di pasar global, Didi menyadari bahwa mempertahankan relevansi merek merupakan tantangan besar. Rasa minuman mungkin stagnan, tetapi citra merek harus terus berkembang. Didi pun memutuskan untuk masuk ke dunia olahraga sebagai alat pemasaran.
Mulai dari olahraga ekstrem seperti BMX, motocross, dan skateboard, hingga olahraga balap Formula 1, Red Bull terus memperluas pengaruhnya. Namun, langkah paling ambisiusnya adalah masuk ke dunia sepak bola, olahraga yang dianggap sebagai “mesin uang terbesar.”
Red Bull dan Sepak Bola: Perjalanan Penuh Kontroversi
Langkah pertama Red Bull di sepak bola dimulai pada 2005 dengan membeli klub Austria SV Austria Salzburg. Klub ini diubah menjadi Red Bull Salzburg dengan perubahan besar pada nama, logo, warna jersey, hingga identitasnya. Perubahan ini menimbulkan reaksi keras dari para penggemar, yang merasa kehilangan jati diri klub mereka. Beberapa bahkan mendirikan klub baru untuk menjaga warisan Salzburg.
Namun, Red Bull tidak berhenti di situ. Atas saran Franz Beckenbauer, legenda sepak bola Jerman, Didi membeli klub SSV Markranstädt di divisi kelima liga Jerman pada 2009. Klub ini kemudian diubah menjadi RasenBallsport Leipzig—atau lebih dikenal sebagai RB Leipzig—dengan tujuan membawa klub tersebut ke Bundesliga. Dalam waktu tujuh tahun, RB Leipzig berhasil naik ke kasta tertinggi sepak bola Jerman, meski tidak lepas dari kontroversi.
Baca juga: Bisnis Sepak Bola: Sensasi, Kerugian, dan Realitas Selebriti
Kontroversi RB Leipzig
RB Leipzig dianggap melanggar “50+1 Rule” Bundesliga, aturan yang memastikan mayoritas saham klub dimiliki oleh anggotanya. Red Bull mengakali aturan ini dengan membatasi jumlah anggota klub menjadi hanya segelintir orang—mayoritas dari pihak Red Bull sendiri. Biaya keanggotaan yang sangat tinggi juga membuat klub ini tampak eksklusif dan tidak merakyat.
Meskipun kontroversial, strategi ini terbukti efektif. RB Leipzig kini menjadi salah satu klub papan atas Bundesliga dan mampu bersaing di Eropa.
Sistem Multi-Club Ownership Red Bull
Red Bull tidak hanya berhenti di Salzburg dan Leipzig. Mereka juga mengakuisisi New York Red Bulls di MLS, Red Bull Bragantino di Brasil, dan klub di Ghana. Sistem kepemilikan multi-klub ini memungkinkan Red Bull untuk mengelola pemain secara efisien.
Pemain muda berbakat dari Ghana dan Brasil dikembangkan di Red Bull Salzburg, kemudian dipindahkan ke RB Leipzig ketika siap bersaing di level tertinggi. Strategi ini telah menghasilkan pemain-pemain top seperti Erling Haaland, Dominik Szoboszlai, dan Naby Keïta, yang kemudian dijual dengan harga tinggi.
Antara Bisnis dan Sepak Bola
Red Bull telah membuktikan bahwa sepak bola bisa menjadi alat pemasaran yang sangat efektif. Namun, pendekatan mereka juga menunjukkan bahwa bisnis terkadang bertabrakan dengan tradisi dan identitas klub. Meski menghadapi kritik tajam dari penggemar tradisional, Red Bull tetap fokus pada tujuan mereka: mencetak keuntungan dan memperluas pengaruh global.
Dalam banyak hal, Red Bull telah mendefinisikan ulang bagaimana sebuah perusahaan non-sepak bola bisa menguasai panggung olahraga, menciptakan tren baru, dan tetap menjadi nama besar di pasar internasional. (Dian D. P)