LEFT-BACK.COM – Sebuah patung penyu di Alun-Alun Gadobangkong, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, menjadi sorotan publik. Patung yang berdiri di kompleks alun-alun dengan total anggaran Rp 15,6 miliar ini menuai perbincangan setelah terungkap bahwa bahan pembuatannya terdiri dari kardus dan bambu.
Spekulasi warganet yang mengira angka miliaran rupiah itu hanya untuk patung akhirnya diklarifikasi oleh Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Jawa Barat, Indra Maha. Ia menjelaskan bahwa anggaran tersebut mencakup pembangunan seluruh fasilitas alun-alun, termasuk selfie deck, leuit, dan gedung kuliner.
Di balik kontroversi ini, patung penyu di Palabuhanratu sesungguhnya mencerminkan identitas daerah. Penyu hijau (Chelonia mydas), yang menjadi simbol Kabupaten Sukabumi, memiliki habitat penting di Pantai Pangumbahan, Ujung Genteng.

Pantai Pangumbahan: Satu-Satunya Penangkaran Penyu Hijau di Selatan Jawa
Pantai Pangumbahan bukan sekadar bagian dari gugusan pantai selatan, tetapi juga satu-satunya lokasi penangkaran penyu hijau di wilayah tersebut. Keunikan ini menjadikannya bagian dari Ciletuh Pelabuhanratu Global Geopark (CPUGGp), yang diakui UNESCO sebagai kawasan biodiversitas penting.
Sayangnya, populasi penyu hijau terus mengalami penurunan akibat perburuan liar. Karapas dan plastron penyu masih diburu untuk dijadikan hiasan, sementara telurnya kerap dikonsumsi karena diyakini memiliki khasiat medis.
Sejarah Konservasi Penyu di Pangumbahan
Keberadaan penyu hijau di Pantai Pangumbahan telah diketahui sejak era kolonial Belanda. Menurut Musonip, seorang pegiat konservasi lokal, VOC telah mencatat kawasan ini sebagai habitat penyu sejak mereka pertama kali menginjakkan kaki di Pajampangan.
Belanda bahkan menunjuk seorang penjaga khusus bernama “Mama Usa” untuk melindungi habitat penyu hijau. Sosok ini dikenal dengan kebijakan ketatnya, seperti larangan mengambil telur penyu atau memasuki kawasan hutan selama bulan Oktober hingga Desember guna memastikan telur-telur dapat menetas dengan aman.
Nama “Pangumbahan” sendiri berasal dari kata “kumbah” yang berarti “mencuci,” merujuk pada praktik mencuci telur penyu agar rasanya tidak pahit, sebagaimana yang dilakukan oleh Mama Usa.
Setelah Belanda hengkang dan Indonesia merdeka, pengelolaan konservasi penyu di Pantai Pangumbahan sempat terbengkalai. Baru pada tahun 1973, sebuah perusahaan swasta mengambil alih, namun fokusnya lebih kepada eksploitasi telur penyu ketimbang konservasi.
Situasi berubah pada tahun 2001, ketika Pemerintah Kabupaten Sukabumi mengeluarkan Perda No. 2/2001 yang melarang perdagangan telur penyu. Namun, perda tersebut kemudian dicabut dan digantikan oleh Keputusan Mendagri No. 92/2005 setelah Indonesia menandatangani kesepakatan The Indian Ocean and South East Asia (IOSEA). Saat ini, larangan jual beli telur penyu ditegakkan dengan ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Pariwisata dan Tantangan Konservasi Penyu
Kini, Pantai Pangumbahan berkembang menjadi destinasi ekowisata unggulan di Sukabumi. Meski berjarak sekitar 100 km dari pusat kota, jumlah wisatawan terus meningkat.
Pengunjung dapat menyaksikan pelepasan tukik ke laut setiap sore hari, momen yang menjadi daya tarik utama kawasan ini. Namun, kelestarian penyu hijau tetap menghadapi tantangan besar.
Studi oleh M. Apuk Ismane dkk. dalam laporan “Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Konservasi Penyu di Pantai Pangumbahan, Sukabumi, Jawa Barat” mencatat penurunan populasi penyu dan jumlah sarang dalam beberapa tahun terakhir. Untuk mengatasi hal ini, berbagai strategi konservasi telah dilakukan, seperti relokasi sarang, pemantauan migrasi dengan teknologi satelit, serta edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga ekosistem penyu.
Sebagai salah satu spesies yang mendekati kepunahan, penyu hijau membutuhkan perlindungan berkelanjutan. Dengan kombinasi konservasi berbasis komunitas dan ekowisata yang bertanggung jawab, diharapkan Pantai Pangumbahan dapat terus menjadi surga bagi penyu hijau sekaligus pusat edukasi lingkungan bagi generasi mendatang.
Baca juga:
Skandal Kualifikasi Piala Dunia 1990: Drama, Kecurangan, dan Konspirasi di Maracana
Indramayu: Paradoks Cahaya Literasi dan Angka Melek Huruf