Kontradiksi PSSI: Timnas Eropa, Liga Amatiran – Potret Buram Sepak Bola Indonesia

LEFT-BACK.COM – Sepak bola Indonesia sedang berada dalam kontradiksi besar. PSSI terus membanggakan program naturalisasi pemain diaspora sebagai langkah revolusioner untuk meningkatkan kualitas Timnas. Namun, di sisi lain, kompetisi domestik—fondasi utama sepak bola nasional—masih carut-marut, penuh dengan korupsi, mismanajemen, dan kekerasan suporter yang terus berulang. Ini bukan kemajuan, ini hanya perbaikan kosmetik yang menutupi luka bernanah di tubuh sepak bola Indonesia.

 

Strategi naturalisasi pemain diaspora memang terlihat menjanjikan dalam jangka pendek. Dengan masuknya pemain-pemain yang telah ditempa di sistem sepak bola Eropa, Timnas Indonesia bisa tampil lebih kompetitif di level internasional. Namun, tanpa ekosistem sepak bola yang sehat di dalam negeri, langkah ini tidak lebih dari sekadar menambal atap rumah yang fondasinya sudah retak. PSSI seolah ingin mencari jalan pintas, sementara sepak bola akar rumput dibiarkan mati perlahan.

 

Kompetisi Liga 1 adalah cerminan nyata dari kekacauan ini. Jadwal yang berantakan, keputusan wasit yang sering dipertanyakan, manajemen klub yang dikelola secara amatiran, hingga standar keamanan yang memalukan. Tragedi Kanjuruhan di Malang yang menewaskan ratusan suporter bukan sekadar kecelakaan, tetapi bukti dari kelalaian sistemik yang terus terjadi bertahun-tahun. Apa yang berubah setelah tragedi itu? Tidak ada. Suporter masih mati di stadion, kerusuhan masih terjadi, dan PSSI masih sibuk dengan retorika tanpa tindakan nyata.

 

Bukan hanya Kanjuruhan, sejarah sepak bola Indonesia dipenuhi dengan tragedi yang tak kunjung menjadi pelajaran. Mulai dari insiden GBK 2012 yang menewaskan suporter Persija, tragedi di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) saat Piala Presiden 2022 yang juga merenggut nyawa suporter akibat buruknya pengelolaan keamanan, hingga bentrokan suporter di berbagai laga Liga 1 yang terus berulang tanpa tindakan tegas. Alih-alih mencari solusi nyata untuk mengakhiri kekerasan di sepak bola, PSSI justru memilih jalan pintas dengan melarang kehadiran suporter tim tamu, seolah-olah rivalitas hanya bisa diredam dengan pembatasan. Ini bukan solusi, ini kemunduran.

 

Sementara itu, liga domestik yang seharusnya menjadi wadah perkembangan pemain muda justru semakin kehilangan arah. Klub-klub lebih memilih pemain asing atau pemain instan daripada membangun akademi berkualitas. Infrastruktur sepak bola masih jauh dari layak, dan talenta muda dibiarkan berkembang sendiri tanpa jalur yang jelas. Di negara lain, pemain muda dipersiapkan dengan sistem akademi yang terstruktur, sementara di Indonesia mereka hanya berharap pada keberuntungan.

 

Jika PSSI benar-benar ingin membawa sepak bola Indonesia ke level yang lebih tinggi, mereka harus berhenti berjualan mimpi dengan naturalisasi semata. Membangun liga yang profesional, membenahi manajemen klub, menegakkan regulasi keamanan yang ketat, serta menciptakan jalur pembinaan pemain muda yang jelas harus menjadi prioritas. Jika tidak, sepak bola Indonesia hanya akan menjadi panggung sandiwara, di mana yang bersinar hanyalah ilusi, sementara realitasnya tetap penuh dengan kegagalan dan kekecewaan.

 

Baca juga:

Johan Cruyff dan Jersey Ikoniknya: Keteguhan Prinsip di Piala Dunia 1974

Menyusuri Napoli: Ketika Sepak Bola Menjadi Agama, dan Maradona Menjadi Nabinya

Tiago Rech: Suporter Tunggal yang Kini Menjadi Presiden Klub Santa Cruz