LEFT-BACK.COM – Gelombang aksi penolakan terhadap revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) berlangsung serentak di berbagai kota, termasuk Jakarta, Bandung, Surakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, hingga Manado, pada Kamis (20/3/2025). Namun, seperti dalam demonstrasi sebelumnya, aksi ini kembali diwarnai tindakan represif dari aparat kepolisian.
Di Jakarta, massa berkumpul di depan Gedung DPR/MPR RI. Berdasarkan pantauan pada pukul 19.40 WIB, sejumlah demonstran mencoba menaiki pagar sisi kanan Kompleks Parlemen dan berusaha menerobos masuk. Aparat kepolisian merespons dengan menembakkan water cannon untuk menghalau massa.
Kericuhan pun pecah. Massa aksi melempar batu ke arah polisi yang berada di dalam gedung. Akibat bentrokan ini, beberapa demonstran mengalami luka-luka. Seorang mahasiswa yang mengikuti aksi menduga bahwa aparat dari dalam gedung juga melakukan pelemparan batu ke arah massa. Namun, dugaan lain menyebutkan bahwa lemparan batu berasal dari demonstran di barisan belakang yang mengenai sesama peserta aksi.
Ambulans dikerahkan ke lokasi untuk membawa korban luka ke arah Jalan Gerbang Pemuda, Senayan. Selain itu, beberapa demonstran yang terluka dievakuasi menggunakan sepeda motor milik warga.
Bentrokan di Semarang dan Aksi Represif Polisi
Di Semarang, situasi memanas sejak pukul 17.15 WIB. Aparat kepolisian berperisai mulai mengayunkan pentungan dan mendorong mundur massa. Tim pengurai dari Raimas Brimob menghidupkan sepeda motor sembari menenteng pelontar gas air mata. Pukul 18.20 WIB, polisi membubarkan demonstrasi dengan menembakkan gas air mata ke arah massa.
Seorang mahasiswa mengalami luka di pelipis mata akibat kekerasan aparat. “Tadi kena tendang saat di mokom [mobil komando],” ungkapnya kepada wartawan pada Kamis (20/3/2025).
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, yang mendampingi para demonstran, melaporkan bahwa sejumlah peserta aksi diamankan polisi. “Ada empat [orang] yang dibawa,” ujar Nukhan, perwakilan LBH Semarang.
Kekerasan Berulang: Pola Represi di Setiap Demonstrasi
Tindakan represif terhadap demonstrasi bukanlah hal baru. Padahal, berdasarkan hukum yang berlaku, pembubaran aksi dengan kekerasan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan hak fundamental dalam negara demokrasi.
Alih-alih menerapkan pendekatan persuasif sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 7 Tahun 2012, aparat justru kerap menggunakan kekuatan berlebihan. Pola ini terus berulang di setiap aksi unjuk rasa.
Pada Agustus 2024, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD)—yang terdiri dari KontraS, YLBHI, dan sejumlah organisasi sipil lainnya—merilis laporan mengenai pola represi aparat dalam merespons demonstrasi di berbagai daerah. Laporan tersebut mencatat 13 kota/kabupaten mengalami tindakan represif, dengan pola yang mencakup:
- Penangkapan disertai kekerasan,
- Penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi,
- Penggunaan gas air mata secara berlebihan, dan
- Penghilangan paksa dalam jangka pendek (short-term enforced disappearances).
Demonstrasi saat itu bertujuan mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang hendak dijegal melalui revisi UU Pilkada. Proses legislasi yang dianggap bermasalah memicu gelombang protes besar di berbagai kota.
Potensi Pelanggaran HAM Berat?
Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Zainal Arifin, menilai bahwa tindakan represif aparat terhadap demonstran jelas merupakan pelanggaran HAM. Namun, ia menekankan perlunya pendalaman lebih lanjut untuk menentukan apakah sudah masuk kategori pelanggaran HAM berat.
“Pelanggaran HAM-nya pasti. Karena ini terkait pembungkaman kebebasan berekspresi dan penyempitan ruang demokrasi. Tapi apakah ini masuk pelanggaran HAM berat? Itu yang harus didalami,” ujar Zainal, Jumat (21/3/2025).
Menurut Zainal, perlu ditelusuri apakah ada instruksi sistematis yang menyebabkan tindakan represif terjadi secara luas dan berulang. Jika terbukti ada perintah terstruktur dari institusi kepolisian atau pemerintah, maka bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Senada dengan itu, Staf Divisi Hukum KontraS, Azlia Amira Putri, menjelaskan bahwa jika pola kekerasan terjadi secara meluas dan sistematis, maka bisa memenuhi unsur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Namun, untuk membuktikan hal ini diperlukan penyelidikan mendalam.
Eskalasi Represi: TNI Turun Tangan dalam Pengamanan Demonstrasi
Pada sidang paripurna DPR RI yang mengesahkan RUU TNI menjadi UU, pengamanan diperketat dengan 5.021 personel gabungan TNI-Polri. Kehadiran militer dalam pengamanan aksi sipil menuai kritik tajam dari berbagai pihak.
Menurut Azlia dari KontraS, tugas pokok TNI seharusnya adalah menegakkan kedaulatan negara dan mempertahankan NKRI, bukan menangani aksi unjuk rasa. “Pelibatan TNI dalam aksi sipil bisa menimbulkan pelanggaran HAM karena mereka tidak dilatih untuk menangani demonstrasi,” ujarnya.
Senada dengan itu, Zainal dari YLBHI menyebut kehadiran TNI dalam demonstrasi sebagai eskalasi represi oleh rezim saat ini. “Sidang Paripurna itu forum politik sipil. Bagaimana ceritanya masyarakat sipil dikelilingi pasukan bersenjata dan tank-tank TNI?” tegasnya.
Kekhawatiran Atas UU TNI Baru
Zainal menyoroti bahwa revisi UU TNI berpotensi melegitimasi peningkatan represi di lapangan. Pasal 8 dalam undang-undang yang baru mengubah peran Angkatan Darat dari hanya menjaga perbatasan menjadi berwenang di seluruh wilayah darat Indonesia.
“Paradigma ini berbahaya. Militer yang seharusnya bertugas untuk pertahanan, kini bisa masuk dalam ranah keamanan. Artinya, demonstrasi bisa saja dianggap ancaman keamanan,” ungkapnya.
Aparat Bungkam, Masyarakat Sipil Terus Mengawasi
Hingga berita ini diterbitkan, kepolisian belum memberikan tanggapan terkait tudingan tindakan represif dalam aksi penolakan UU TNI. Sementara itu, masyarakat sipil dan organisasi HAM terus mengawasi eskalasi represi di Indonesia.
Demokrasi tak akan berjalan tanpa kebebasan bersuara. Sebagaimana ditegaskan Zainal, “Tidak ada demokrasi tanpa orang bersuara. Tidak ada demokrasi tanpa kemauan untuk mendengar.”
Baca juga:
Menyusuri Napoli: Ketika Sepak Bola Menjadi Agama, dan Maradona Menjadi Nabinya
Lebih dari Sekadar Angka: Persib 1933 dan Arti Sebuah Warisan
Skandal Kualifikasi Piala Dunia 1990: Drama, Kecurangan, dan Konspirasi di Maracana