LEFT-BACK.COM – Es teh telah menjadi salah satu minuman paling digemari masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Tidak hanya disajikan di rumah, tempat makan, atau warung, kini es teh telah berkembang menjadi bisnis modern dengan berbagai inovasi rasa dan kemasan. Dulunya, es teh sering dijual secara sederhana, mulai dari gerobak pinggir jalan hingga acara besar seperti kajian agama, konser, atau saat berada di tengah kemacetan. Fenomena ini menunjukkan bahwa es teh bukan sekadar minuman, tetapi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup masyarakat Indonesia. Indonesia, Penghasil Teh Dunia Sebagai salah satu penghasil teh utama di dunia, Indonesia memiliki peran penting dalam perdagangan teh global. Berdasarkan data Satu Data Pertanian, Indonesia menempati posisi ke-13 sebagai negara eksportir teh terbesar dunia dengan rata-rata nilai ekspor sebesar USD 111,014 ribu ton per tahun pada periode 2015-2019. Ini menyumbang sekitar 1,46% dari total nilai ekspor teh dunia. Produksi teh Indonesia sebagian besar berasal dari Provinsi Jawa Barat yang menyumbang 69,21% dari total areal perkebunan teh nasional. Kabupaten Cianjur dan Tasikmalaya menjadi pusat utama produksi teh di wilayah tersebut. Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Utara menyusul dengan kontribusi masing-masing sebesar 9,22% dan 5,46%. Baca juga: Tradisi Penyapu Koin di Jembatan Sewo: Warisan Budaya Pantura yang Sarat Makna Konsumsi Domestik yang Meningkat Meskipun ekspor teh Indonesia mengalami penurunan dalam delapan tahun terakhir, konsumsi domestik justru meningkat signifikan. Berdasarkan jurnal Radar, konsumsi teh dalam negeri tumbuh 4% setiap tahun dari 2005 hingga 2018. Pada tahun 2018, konsumsi teh dalam negeri mencapai 105.000 ton, atau sekitar 75% dari total produksi teh nasional. Peningkatan ini didorong oleh maraknya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memanfaatkan teh sebagai bahan baku utama, termasuk untuk diversifikasi produk seperti es teh. Bahkan, menurut Rafika (2023), permintaan teh siap saji di Indonesia lebih tinggi dibandingkan permintaan air mineral. Es Teh, Minuman Favorit di Bulan Ramadan Es teh juga menjadi minuman favorit selama bulan Ramadan. Menurut survei Kurious Katadata Insight Centre, teh menduduki peringkat kedua sebagai minuman paling sering dikonsumsi saat berbuka puasa dan sahur. GoodStats mencatat bahwa popularitas es teh tak tergoyahkan di kalangan masyarakat Indonesia, terutama pada saat berbuka puasa. Kontribusi Ekonomi dari Rantai Produksi Teh Rantai produksi teh, mulai dari petani, distributor, hingga penjual es teh, memainkan peran vital dalam ekonomi Indonesia. Data dari Basorudin (2019) menunjukkan bahwa industri teh menyerap sekitar dua juta tenaga kerja dengan rata-rata 3-4 orang per hektar lahan perkebunan. Maraknya bisnis es teh gerobakan di pinggir jalan juga memperkuat perekonomian lokal dengan menciptakan lapangan kerja dan mendorong konsumsi teh dalam negeri. Baca juga: Mengenang Gajayana, Stadion Tertua di Indonesia Merek Teh Favorit Indonesia Survei Jakpat (jejak pendapat) yang disadur oleh GoodStats menunjukkan bahwa Sari Wangi menjadi merek teh celup favorit masyarakat Indonesia, dengan 77,4% responden memilihnya. Hal ini membuktikan bahwa teh masih menjadi minuman yang melekat erat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dengan konsumsi teh yang terus meningkat dan inovasi di sektor UMKM, teh tidak hanya menjadi komoditas ekspor andalan tetapi juga menjadi motor penggerak ekonomi domestik yang berkelanjutan. Fenomena es teh modern adalah bukti nyata bagaimana teh terus beradaptasi dengan tren dan kebutuhan pasar.
Kategori: Ragam
Politik, Fanatisme, dan Kekalahan: Sebuah Drama Pilkada yang Tak Pernah Usai
LEFT-BACK.COM – Pilkada di Indonesia selalu menghadirkan kisah serupa: euforia, fanatisme, dan pada akhirnya, senyap. Beberapa hari lalu, 27 November menjadi panggung bagi jutaan warga untuk menunjukkan siapa “jagoan” mereka. Linimasa media sosial penuh dengan perang meme, unggahan dukungan berapi-api, hingga doa-doa agar calon tertentu menang. Namun, seperti kisah cinta bertepuk sebelah tangan, begitu hasil diumumkan, sebagian besar pendukung fanatik yang “berteriak” sepanjang kampanye mendadak hilang tanpa jejak. Yang kalah seolah ditelan bumi, sementara yang menang mendadak bijak. Apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena ini? Fanatisme Politik: Ketika Pilkada Menjadi Ajang Identitas Diri Di Indonesia, pilkada bukan sekadar pemilihan pemimpin daerah. Bagi sebagian orang, itu adalah panggung pembuktian identitas dan loyalitas. Fanatisme politik tumbuh subur karena manusia secara alami mencari kelompok yang bisa memberikan rasa memiliki dan makna. Social identity theory menjelaskan bagaimana seseorang merasa “lebih hidup” ketika menjadi bagian dari kelompok pendukung calon tertentu. Dalam kondisi ini, mendukung calon tidak lagi soal pilihan rasional, melainkan soal mempertahankan harga diri dan pembuktian sosial. Media sosial memperburuk fanatisme ini. Orang dengan mudahnya terjebak dalam echo chamber, hanya mendengar informasi yang memperkuat keyakinannya (confirmation bias). Akibatnya, mereka yakin calon mereka pasti menang dan lebih baik dari yang lain. Pada titik ini, politik berubah menjadi agama, dengan kandidat sebagai “dewa penyelamat.” Baca juga: Més que un Club: Lebih dari Sekadar Klub, Simbol Identitas Katalan Saat Kekalahan Menjadi Dissonansi Psikologis Namun, apa yang terjadi ketika “dewa” ini kalah? Pendukung fanatik menghadapi cognitive dissonance, konflik psikologis antara keyakinan bahwa calon mereka pasti menang dan kenyataan bahwa calon tersebut kalah. Alih-alih menerima kekalahan dengan lapang dada, banyak dari mereka memilih strategi penarikan diri. Perasaan malu menjadi faktor utama. Setelah membanjiri media sosial dengan klaim kemenangan, kekalahan dianggap sebagai pukulan pribadi. Daripada menghadapi ejekan atau kritik, mereka memilih untuk diam. Seperti seorang aktor yang gagal dalam audisi, mereka keluar dari panggung, berharap publik segera melupakan penampilan buruk mereka. Stres dan Trauma Pasca-Pilkada Tak sedikit pendukung yang mengalami stres setelah calon mereka kalah. Hal ini bisa disebabkan oleh: 1. Kehilangan Makna: Mereka yang terlalu larut dalam kampanye mendapati hidupnya “kosong” begitu pilkada usai. 2. Trauma Kekalahan: Kekalahan dianggap sebagai kekalahan pribadi. Tidak hanya calon mereka yang kalah, tetapi juga nilai-nilai, mimpi, dan harapan yang telah mereka investasikan. 3. Polarisasi Emosi: Kebencian terhadap calon pemenang membuat mereka sulit menerima hasil pemilu. Ini bukan sekadar urusan emosional. Dalam beberapa kasus, kekalahan politik bahkan memicu gangguan psikologis serius, seperti depresi atau paranoia. Baca juga: Mengenang Gajayana, Stadion Tertua di Indonesia Siklus Politik yang Berulang Yang menarik, fenomena ini adalah siklus yang terus berulang setiap pilkada. Setelah euforia dan fanatisme memuncak, kekalahan membawa pendukung pada fase introspeksi dan akhirnya apati. Yang menang merayakan, sementara yang kalah menghilang, setidaknya sampai pilkada berikutnya. Indonesia membutuhkan budaya politik yang lebih dewasa. Pemilu bukan perang antara “benar” dan “salah,” tetapi cara demokrasi bekerja. Penting bagi masyarakat untuk melihat hasil pilkada sebagai keputusan kolektif, bukan kehancuran personal.
Tradisi Penyapu Koin di Jembatan Sewo: Warisan Budaya Pantura yang Sarat Makna
LEFT-BACK.COM – Di sepanjang Jalur Pantai Utara (Pantura), Jembatan Sewo di Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, dikenal bukan hanya sebagai jalur transportasi vital, tetapi juga sebagai pusat tradisi unik penyapu koin. Tradisi ini melibatkan warga lokal yang berjejer di sisi jalan, mengais koin-koin yang dilemparkan pengendara menggunakan sapu panjang. Ritual yang dilakukan oleh anak-anak hingga orang dewasa ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat setempat, terutama selama arus mudik dan balik Lebaran. Baca juga: Semporna: Permata Pantai Timur Sabah yang Memukau Asal-usul tradisi ini tidak lepas dari kisah-kisah mistis yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu legenda menyebutkan tentang kakak beradik, Saedah dan Saeni, yang hidup miskin dan mengemis di sekitar Jembatan Sewo hingga akhir hayat mereka. Masyarakat percaya bahwa arwah mereka masih menghuni area jembatan tersebut, menjadikannya lokasi yang dianggap angker. Tradisi melempar koin oleh para pengendara kerap dikaitkan dengan permohonan perlindungan selama perjalanan, keselamatan, hingga harapan keberuntungan dalam usaha. Mitos ini diperkuat oleh peristiwa tragis pada 1974, ketika sebuah bus transmigran tergelincir dan terbakar di bawah jembatan, menewaskan puluhan penumpang. Sejak saat itu, banyak pelintas yang melempar koin sebagai bentuk penghormatan atau tolak bala. Baca juga: Stasiun Jatibarang: Sejarah, Keunikan, dan Peran dalam Perjalanan Kereta Api Indonesia Namun, di luar aspek mistis, tradisi ini juga menjadi sumber penghidupan tambahan bagi warga setempat. Meski banyak penyapu koin memiliki pekerjaan utama, seperti buruh pabrik atau peternak, aktivitas ini menjadi peluang untuk menambah penghasilan, terutama saat musim mudik. Pada hari-hari biasa, pendapatan mereka berkisar Rp30 ribu, tetapi bisa melonjak hingga ratusan ribu rupiah selama Lebaran. Kendati demikian, aktivitas ini memiliki risiko, baik bagi warga maupun pengendara, karena dapat memicu kecelakaan atau kemacetan di jalur padat Pantura. Tradisi penyapu koin mencerminkan bagaimana budaya lokal mampu bertahan meski dihadapkan pada modernisasi. Ritual ini menyatukan keyakinan spiritual, usaha keras, dan solidaritas komunitas lokal. Namun, tantangan keamanan dan tata kelola tradisi ini perlu mendapat perhatian.oen Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah menjadikan tradisi ini sebagai bagian dari wisata budaya yang terorganisir, sehingga nilai-nilai budaya tetap lestari tanpa mengorbankan keselamatan.
Paulo Freire: Sang Pembebasan Melalui Pendidikan
LEFT-BACK.COM – Hari Guru Nasional menjadi momen refleksi atas peran guru dalam menciptakan pendidikan yang memerdekakan. Dalam perjalanan sejarah, sosok Paulo Freire, seorang pendidik visioner asal Brasil, menjadi salah satu inspirasi utama dalam dunia pendidikan. Pemikirannya yang revolusioner, khususnya dalam membela kaum tertindas, menjadikan Freire sebagai figur penting dalam menciptakan pendidikan yang inklusif dan penuh makna. Mengenal Paulo Freire dan Pemikirannya Lahir di Recife, Brasil, pada tahun 1921, Freire tumbuh dalam lingkungan sosial yang penuh ketidakadilan. Pengalaman mengajarnya di komunitas miskin mengubah pandangannya tentang pendidikan konvensional yang hanya berorientasi pada hafalan. Freire berpendapat bahwa pendidikan tidak seharusnya menjadi alat penindasan, melainkan sarana pembebasan. Pemikirannya terangkum dalam konsep “pedagogi kaum tertindas”, yang menolak metode pengajaran tradisional. Ia mengkritik sistem pendidikan yang memosisikan guru sebagai sumber utama pengetahuan dan siswa sebagai penerima pasif. Sebaliknya, Freire menekankan pentingnya pendekatan dialogis, di mana guru dan siswa bersama-sama mengeksplorasi pengetahuan. Guru berperan sebagai fasilitator, membimbing siswa untuk memahami dunia di sekitar mereka dan menciptakan solusi bagi tantangan sosial. Baca juga: Stasiun Jatibarang: Sejarah, Keunikan, dan Peran dalam Perjalanan Kereta Api Indonesia Konsep “kesadaran kritis” menjadi landasan penting dalam metode Freire. Ia percaya bahwa pendidikan harus membangkitkan kesadaran siswa terhadap realitas sosial, budaya, dan politik yang mereka hadapi. Dengan kesadaran ini, individu dapat menganalisis akar permasalahan dalam masyarakat dan mengambil langkah konkret untuk perubahan. Relevansi Paulo Freire di Indonesia Indonesia, dengan tantangan pendidikan yang masih terfokus pada hafalan dan ujian, dapat banyak belajar dari gagasan Freire. Di negara ini, pendidikan yang memberdayakan siswa untuk berpikir kritis dan kreatif masih jarang diterapkan. Sementara itu, kesenjangan akses pendidikan dan kualitas pengajaran menjadi isu yang terus menghantui. Baca juga: Ali Ben Nasser: Wasit di Balik Momen Ikonik ‘Tangan Tuhan’ Maradona Pendekatan Freire dapat menjadi panduan untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih relevan dan inklusif. Guru-guru di Indonesia dapat mengadopsi prinsip dialogis dan memahami konteks kehidupan siswa, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menjadi sarana akademik, tetapi juga alat untuk membangun masyarakat yang adil dan setara. Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang mengajarkan bahwa pendidikan harus menjadi alat pembebasan, bukan penindasan. Pemikirannya tentang dialog, kesadaran kritis, dan keadilan sosial memberikan arah baru bagi dunia pendidikan, termasuk di Indonesia. Dalam semangat Hari Guru Nasional, kita perlu meneladani pemikiran Freire dan menjadikan guru sebagai agen perubahan sosial. Dengan pendidikan yang berorientasi pada pembebasan, Indonesia dapat melahirkan generasi yang kritis, kreatif, dan bertanggung jawab terhadap masa depan.
Stasiun Jatibarang: Sejarah, Keunikan, dan Peran dalam Perjalanan Kereta Api Indonesia
LEFT-BACK.COM – Stasiun Jatibarang merupakan stasiun kereta api kelas besar tipe C yang terletak di Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu. Stasiun ini berada pada ketinggian +8 meter dan berjarak sekitar 174 km dari Stasiun Gambir, Jakarta. Berlokasi strategis di Jalan Mayor Sangun, tepat di depan Pasar Jatibarang Lama, stasiun ini menjadi pusat transportasi utama di Kabupaten Indramayu dan termasuk dalam wilayah operasional Daerah Operasi III Cirebon. Dengan statusnya sebagai stasiun kelas besar, sebagian besar perjalanan kereta api berhenti di sini untuk melayani penumpang. Stasiun Jatibarang memiliki lima jalur kereta api, di mana jalur 2 dan 3 digunakan sebagai sepur lurus. Sejarah Stasiun Jatibarang Stasiun ini dibangun pada masa penjajahan Belanda bersamaan dengan pembangunan jalur kereta api Cikampek–Cirebon yang selesai pada 3 Juni 1912. Tujuan utama pembangunannya adalah menghubungkan jalur Staatsspoorwegen (SS) dengan Semarang–Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS). Dulunya, Stasiun Jatibarang memiliki percabangan jalur menuju Indramayu dan Karangampel. Namun, jalur tersebut kini telah dinonaktifkan. Bangunan stasiun yang merupakan peninggalan kolonial tetap dipertahankan hingga sekarang, meski telah mengalami berbagai renovasi untuk memenuhi standar pelayanan modern. Baca juga: Mengenal Kota Tertua di Pulau Jawa: Salatiga, Permata Kuno yang Tak Pernah Redup Bangunan dan Tata Letak Stasiun Jatibarang memiliki lima jalur utama. Awalnya, jalur 2 berfungsi sebagai sepur lurus. Namun, setelah proyek pembangunan jalur ganda Telagasari–Cirebon pada 2004–2007, jalur 2 hanya digunakan sebagai sepur lurus arah Cirebon, sementara jalur 3 menjadi sepur lurus arah Cikampek. Renovasi besar dilakukan untuk meningkatkan fasilitas. Salah satu proyek besar adalah perpanjangan kanopi dan pembangunan gedung baru yang diresmikan pada 7 Februari 2020 oleh Direktur Utama PT KAI, Edi Sukmoro, bersama Bupati Indramayu. Peristiwa Penting dan Insiden Stasiun Jatibarang menyimpan banyak cerita, baik dari sejarah perjuangan bangsa maupun insiden di dunia perkeretaapian. 1. Peristiwa Baku Tembak Tahun 1951 Pada 7 Agustus 1951, terjadi baku tembak antara TNI dan kelompok bersenjata yang terafiliasi dengan DI/TII. Serangan ini tidak hanya menyasar stasiun, tetapi juga membakar permukiman warga dan kantor pos. Konflik ini berlangsung dari pukul 22.00 hingga dini hari pukul 03.15. 2. Insiden Kereta Tegal Arum Tahun 2010 Pada 9 Maret 2010, kereta api Tegal Arum yang melayani rute Jakarta–Tegal mengalami patah as roda sehingga anjlok di wilayah Kongsijaya, Widasari, Indramayu. Insiden ini terjadi pada pukul 18.30 dan sempat mengganggu perjalanan kereta api lainnya. 3. Jejak Sejarah Soekarno di Stasiun Jatibarang Stasiun ini menjadi saksi sejarah ketika Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, menginjakkan kaki di Indramayu. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan Tugu Soekarno, sebuah monumen kayu jati kecil yang berada di sekitar stasiun. Tugu tersebut menandai tempat di mana Soekarno berpidato di depan pasukan pembela tanah air (PETA) sebelum melanjutkan perjalanan menuju Perjanjian Linggarjati di Kabupaten Kuningan. Baca juga: Pantai Utara Indramayu: Tercekik Pencemaran, Masa Depan Suram Mengintai Stasiun Jatibarang dalam Perspektif Modern Meski telah mengalami berbagai peristiwa bersejarah, Stasiun Jatibarang tetap menjadi pusat transportasi vital di Kabupaten Indramayu. Keberadaannya tidak hanya mendukung mobilitas masyarakat tetapi juga menjadi bagian dari warisan budaya dan sejarah Indonesia. Dengan fasilitas modern dan pelayanan yang terus ditingkatkan, stasiun ini menjadi saksi perjalanan bangsa dari masa kolonial hingga era modern.
Mengenal Kota Tertua di Pulau Jawa: Salatiga, Permata Kuno yang Tak Pernah Redup
LEFT-BACK.COM – Salatiga, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, menyimpan sejuta pesona yang tak lekang oleh waktu. Tak hanya dikenal sebagai kota penghasil kentang, Salatiga juga menyandang predikat sebagai salah satu kota tertua di Pulau Jawa. Sejarah panjang yang dimilikinya telah membentuk kota ini menjadi sebuah perpaduan unik antara tradisi dan modernitas. Jejak Sejarah yang Terukir Berdasarkan Prasasti Plumpungan, Salatiga telah ada sejak tahun 750 Masehi atau tahun ini berumur 1.274 tahun. Prasasti ini menjadi bukti otentik yang mengukuhkan keberadaan Salatiga sebagai salah satu permukiman tertua di Pulau Jawa. Sebagai sebuah wilayah perdikan, Salatiga menikmati status istimewa yang diberikan oleh penguasa pada masa itu. Keistimewaan ini memberikan ruang bagi Salatiga untuk berkembang menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan. Hingga kini, sejumlah peninggalan sejarah masih dapat ditemukan di Salatiga. Candi Jawalan, misalnya, merupakan salah satu candi Hindu-Buddha yang diperkirakan berasal dari abad ke-8 Masehi. Candi ini menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu Salatiga sebagai pusat perkembangan agama Hindu-Buddha di Jawa Tengah. Selain Candi Jawalan, terdapat pula sejumlah situs sejarah lainnya seperti makam-makam kuno dan bangunan-bangunan bersejarah yang tersebar di berbagai penjuru kota. Pesona Wisata yang Memikat Selain kaya akan sejarah, Salatiga juga menawarkan beragam destinasi wisata yang menarik. Bagi para pecinta alam, terdapat kawasan wisata Bukit Cinta yang menyajikan pemandangan kota Salatiga dari ketinggian. Pengunjung dapat menikmati suasana sejuk dan tenang sambil menikmati keindahan alam sekitar. Bagi yang tertarik dengan wisata kuliner, Salatiga memiliki beragam kuliner khas yang patut dicoba. Sate ayam Salatiga, misalnya, merupakan salah satu kuliner khas yang sangat populer. Selain itu, terdapat pula berbagai jenis jajanan pasar yang dapat ditemukan di pasar tradisional. Baca juga: HKBP Sidihoni: Gereja Indah di Bukit Samosir dengan Pesona Alam dan Danau yang Memukau Salatiga: Masa Lalu dan Masa Depan Sebagai kota tua, Salatiga memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya. Dengan kekayaan sejarah dan budayanya, Salatiga dapat menjadi magnet bagi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Namun, upaya pelestarian dan pengembangan potensi wisata Salatiga harus dilakukan secara berkelanjutan. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah telah berupaya untuk mengembangkan potensi wisata Salatiga. Pembangunan infrastruktur, promosi wisata, dan pelestarian cagar budaya menjadi beberapa upaya yang dilakukan. Dengan demikian, diharapkan Salatiga dapat semakin dikenal dan dikunjungi oleh wisatawan. Salatiga adalah sebuah kota yang kaya akan sejarah dan budaya. Sebagai salah satu kota tertua di Pulau Jawa, Salatiga memiliki pesona yang tak tergantikan. Dengan potensi wisata yang sangat besar, Salatiga memiliki masa depan yang cerah sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya.