LEFT-BACK.COM – Pada tahun 2019, sebuah tempat sederhana di tengah Desa Mundakjaya blok Badak, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, menjelma menjadi ruang penuh makna bagi anak-anak muda. Tempat ini bukan hanya sekadar lokasi nongkrong, melainkan rumah bagi beragam komunitas—dari suporter sepak bola, komunitas motor, hingga seniman. Mereka berkumpul, bertukar cerita, dan menjalin hubungan, menciptakan ruang inklusif yang diterima oleh siapa saja. Namun, kehidupan berubah drastis ketika pandemi melanda pada tahun 2020. Masa sulit ini mengajarkan bahwa solidaritas adalah napas yang menghidupkan kemanusiaan. Terinspirasi oleh aksi Jerinx SID di Bali yang menghadirkan pasar gratis, komunitas ini memutuskan untuk melakukan hal serupa dengan pendekatan unik. Mereka membuat celengan dari kaleng bekas yang diisi oleh siapa saja yang mampir. Setiap akhir bulan, celengan tersebut dibuka, dan hasilnya digunakan untuk menyediakan nasi bagi mereka yang membutuhkan. Setelah kegiatan pasar gratis pertama berhasil terlaksana, lahirlah nama Birmingham untuk tempat ini. Nama tersebut diambil dari salah satu kota legendaris di Inggris, yang dikenal sebagai pusat revolusi industri dan tempat berdirinya universitas-universitas ternama. Filosofi ini mencerminkan harapan besar: agar setiap orang yang singgah di Birmingham, meskipun berlatar belakang sederhana, dapat memiliki etos kerja tinggi dan kecerdasan dalam menyikapi kehidupan. Seiring waktu, Birmingham menjadi pelabuhan bagi mereka yang merasa terbuang dan terabaikan. Pasar gratis yang rutin diadakan setiap akhir bulan tak hanya memberikan bantuan materi, tetapi juga menyatukan jiwa-jiwa yang mungkin telah lama kehilangan rasa percaya diri. Namun, perjalanan ini tidak selalu mudah. Setelah pandemi berakhir pada 2022, sebagian besar penggerak komunitas memilih merantau, meninggalkan Birmingham untuk mengejar penghidupan di luar kota maupun luar negeri. Di tengah tantangan tersebut, Birmingham memutuskan untuk membuka donasi publik guna melanjutkan pasar gratis. Kini, kegiatan mereka berkembang, mencakup pembagian nasi, kudapan, hingga pakaian bekas layak pakai. Meski diterpa kritik dan cibiran, Birmingham tetap bertahan, menjunjung tinggi nilai solidaritas yang menjadi inti dari keberadaannya. Tempat ini membuktikan bahwa kebaikan tidak memerlukan sumber daya besar—cukup hati yang tulus dan semangat untuk berbagi. Birmingham bukan sekadar nama, melainkan simbol perjuangan dan kebersamaan. Hingga kini, pasar gratis masih berlangsung setiap akhir bulan, menyampaikan pesan bahwa negara masih belum baik-baik saja—feodalisme masih mengakar, dan kelas sosial terus menjadi sekat yang menyakitkan bagi kalangan menengah ke bawah. Baca juga: Indramayu: Paradoks Cahaya Literasi dan Angka Melek Huruf Kesuksesan Finansial Indramayu: Fatamorgana di Tengah Kegagalan Infrastruktur dan Kemiskinan yang Belum Terselesaikan Tradisi Penyapu Koin di Jembatan Sewo: Warisan Budaya Pantura yang Sarat Makna
Kategori: Ragam
Yos Suprapto: Seniman Multitalenta yang Mengangkat Pertanian Biodinamik
LEFT-BACK.COM – Yos Suprapto bukan sekadar seniman. Ia juga seorang ahli pertanian yang berhasil memadukan seni dengan pertanian melalui konsep biodynamic agriculture (BDA). Pendekatannya ini menciptakan perpaduan unik antara kreativitas dan inovasi dalam pertanian berkelanjutan. Nama Yos Suprapto menjadi sorotan setelah pameran tunggalnya bertajuk Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan batal digelar di Galeri Nasional pada Kamis (19/12/2024). Pembatalan tersebut terjadi akibat adanya lima lukisan yang diminta untuk diturunkan. Lukisan-lukisan itu memuat kritik sosial terkait isu tanah dan pertanian berkelanjutan, dengan figur yang dianggap menyerupai tokoh nasional. Menjelang pembukaan, akses menuju ruang pameran diblokir, dan lampu-lampu ruangan dipadamkan, menimbulkan kekecewaan bagi Yos. Tanah dan Pangan: Inspirasi Karya Yos Suprapto Sebagai ahli pertanian, isu tanah dan kedaulatan pangan selalu menjadi perhatian utama Yos. Ia memiliki pengalaman riset selama puluhan tahun di Australia dan telah menerapkan ilmunya baik di kanvas maupun di ladang. Salah satu pencapaiannya adalah pengembangan metode pertanian biodinamik, yang menekankan penggunaan bahan alami dan mengurangi ketergantungan pada bahan kimia. Transformasi Pertanian dengan Biodynamic Agriculture (BDA) Metode BDA yang diterapkan Yos berasal dari gagasan Rudolf Steiner, seorang filsuf Austria pada tahun 1924. BDA menitikberatkan pemanfaatan bahan organik dan mikroorganisme tanah, berlawanan dengan pendekatan Revolusi Hijau yang memperkenalkan pupuk kimia dan bibit unggul. Meski bertujuan meningkatkan hasil pertanian, Revolusi Hijau memunculkan efek samping seperti degradasi tanah, pencemaran air, dan ketergantungan petani pada produk impor. Melalui konsep BDA, Yos tidak hanya memulihkan kondisi tanah tetapi juga membangkitkan kembali penggunaan bibit lokal yang sebelumnya terpinggirkan. Ia meyakinkan petani bahwa metode bertani tanpa bahan kimia justru mampu menghasilkan produk berkualitas tinggi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Kolaborasi Seni dan Pertanian Semangat Yos untuk menggabungkan seni dan pertanian muncul setelah bertemu dengan maestro seni Indonesia, Affandi. Pertemuan tersebut menginspirasi Yos untuk menjadikan pertanian sebagai media kreatif dalam menyampaikan ide-idenya. Bagi Yos, seni tidak hanya terbatas pada kanvas, tetapi juga dapat diwujudkan melalui praktik yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan lingkungan. Peneliti seni Martinus Dwi Marianto dan Genta Swara Global dalam karya mereka, Kontribusi Yos Suprapto Memperkaya Biodinamiser Rudolf Steiner Dalam Cakrawala Ekoart, menulis bahwa Yos telah menciptakan pendekatan estetik yang menyentuh aspek sosial, lingkungan, dan spiritual. Dengan pendekatan ini, Yos memberikan kontribusi signifikan dalam memperkaya konsep pertanian biodinamik di Indonesia. Warisan dan Harapan Yos Suprapto Dengan menyebarkan metode BDA di kalangan petani Jawa, Yos telah membuka pandangan baru tentang bagaimana pertanian dapat dilakukan secara lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ia berharap langkah ini mampu menginspirasi lebih banyak petani untuk melestarikan alam dan menjaga keberlanjutan pangan, sekaligus memuliakan peran seni dalam kehidupan. Baca juga: Indramayu: Paradoks Cahaya Literasi dan Angka Melek Huruf Pelantikan DPD dan KORCAM Tani Merdeka Indonesia Kabupaten Bogor, Fokus Tingkatkan Swasembada Pangan Puncak Culture Session Vol. 1: Perpaduan Seni dan Musik yang Meriahkan Akhir di Bogor
Indramayu: Paradoks Cahaya Literasi dan Angka Melek Huruf
LEFT-BACK.COM – Jawa Barat, provinsi penuh warna dan keberagaman, adalah rumah bagi sejumlah kisah keberhasilan literasi yang patut dibanggakan. Di tahun 2023, indeks pembangunan literasi masyarakat (IPLM) menunjukkan angka yang cukup menggembirakan di banyak wilayah. Kota-kota seperti Bandung, Cimahi, dan Tasikmalaya bersinar terang, baik dalam angka melek huruf maupun IPLM. Namun, di balik gemerlapnya data literasi Jawa Barat, ada satu kabupaten yang seakan-akan berada di persimpangan antara kemajuan dan stagnasi: Indramayu. Ketimpangan dalam Angka Melek Huruf Angka melek huruf di Jawa Barat pada tahun 2023 rata-rata mencapai 98,51%, sebuah pencapaian yang layak dirayakan. Kota Bandung memimpin dengan 99,87%, diikuti oleh Kota Cimahi (99,64%) dan Kota Tasikmalaya (99,81%). Namun, di sudut barat laut Jawa Barat, Indramayu mencatat angka melek huruf 92,52%, terendah di antara kabupaten dan kota lainnya. Tahun-tahun sebelumnya tidak menunjukkan banyak perubahan. Pada 2022, angka melek huruf Indramayu hanya 92,34%, sementara di tahun 2021 sempat sedikit naik ke 93,76% sebelum kembali turun. Seolah-olah Indramayu terjebak dalam pusaran kebodohan yang tak berujung, meski potensi ekonominya sebagai lumbung padi nasional begitu besar. Ironi Angka IPLM Namun, inilah yang menarik: meskipun angka melek huruf Indramayu terendah, indeks pembangunan literasi masyarakat (IPLM) di kabupaten ini tidak begitu buruk. Pada tahun 2023, IPLM Indramayu mencapai 73,78, jauh di atas rata-rata provinsi (60,02) dan bahkan melampaui beberapa kabupaten yang memiliki angka melek huruf lebih tinggi. Bagaimana ini bisa terjadi? Indramayu tampaknya unggul dalam beberapa indikator IPLM, seperti pemerataan layanan perpustakaan dan ketercukupan koleksi perpustakaan, yang masing-masing mencetak nilai 1,000. Bahkan, tingkat kunjungan masyarakat ke perpustakaan mencapai 61,93%, salah satu yang tertinggi di Jawa Barat. Sebuah Paradoks yang Memancing Satire Indramayu seolah-olah menjadi kabupaten yang gemar mengunjungi perpustakaan tanpa tahu cara membaca buku. Perpustakaan mungkin penuh dengan pengunjung, tetapi apakah mereka benar-benar datang untuk membaca, atau sekadar mencari Wi-Fi gratis dan tempat berteduh dari panasnya terik matahari? Bayangkan seorang anak di Indramayu yang duduk di perpustakaan megah, dikelilingi ribuan buku, tetapi tidak tahu cara mengeja kata “Indonesia.” Sementara itu, di Kota Bandung, seorang anak seusianya membaca novel ilmiah untuk mempersiapkan olimpiade sains tingkat nasional. Ironi ini mencerminkan ketimpangan struktural dan budaya yang mendalam. Penutup: Cahaya yang Tertunda Indramayu adalah sebuah paradoks: lumbung padi nasional yang kesulitan menjadi lumbung pengetahuan. Dengan angka IPLM yang menjanjikan tetapi angka melek huruf yang memprihatinkan, kabupaten ini mengajarkan kita bahwa literasi bukan sekadar soal menyediakan buku dan perpustakaan, tetapi soal membangun budaya membaca yang sejati. Maka, mari kita berhenti menjadikan Indramayu sebagai bahan ejekan. Sebaliknya, jadikanlah kabupaten ini sebagai simbol harapan, bahwa dengan kerja keras dan komitmen, Indramayu bisa bangkit dari kegelapan menuju terang literasi yang sejati. Semoga tahun-tahun mendatang membawa perubahan nyata, di mana setiap anak di Indramayu tidak hanya tahu cara membaca buku, tetapi juga tahu cara menulis masa depan yang lebih baik. Baca juga: Kesuksesan Finansial Indramayu: Fatamorgana di Tengah Kegagalan Infrastruktur dan Kemiskinan yang Belum Terselesaikan Ironi Indramayu : Lumbung Padi Termiskin di Jawa Barat Tragedi Munich dan Perjalanan Karier George Best: Kisah Inspiratif dari Duka hingga Legenda Sumber data: Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat.
Penghormatan untuk dr. Mohammad Raffi Ghani: Sosok yang Berdedikasi untuk Persib Bandung dan Dunia Olahraga
LEFT-BACK.COM – Dunia olahraga Indonesia, khususnya Persib Bandung, tengah dirundung duka mendalam. Pada Senin malam, 23 Desember 2024, dr. Mohammad Raffi Ghani, atau akrab disapa dr. Rafi, berpulang di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Beliau akan dimakamkan di TPU Sinaraga, Kota Bandung, meninggalkan warisan dedikasi dan cinta kepada dunia olahraga yang tak akan terlupakan. Perjalanan Awal Bersama Persib Bandung Lahir pada 10 Juli 1969, dr. Rafi menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mengabdikan diri di bidang kedokteran olahraga. Tahun 2009 menjadi titik awal perjalanan panjangnya bersama Persib Bandung. Ketika itu, ia dihubungi oleh Sekretaris Tim Persib, Yudiana, untuk menggantikan dr. Ia Kurnia yang mengundurkan diri karena kesibukan. Meski belum pernah terbayang menangani sebuah tim sepak bola, dr. Rafi menerima tantangan tersebut dengan penuh keyakinan. Didukung oleh sang istri yang selalu memberikan semangat, dr. Rafi langsung menerima tawaran tersebut. Ia pun berangkat ke Jakarta untuk mengurus lisensi kedokteran olahraga. Lucunya, dalam proses tersebut, ia sempat tidak mengetahui siapa manajer dan pelatih Persib saat itu. Baru kemudian ia mengetahui bahwa manajer Persib adalah Haji Umuh Muchtar, sementara pelatihnya adalah Jaya Hartono. Hal ini menunjukkan bagaimana dr. Rafi memulai tugasnya dengan hati terbuka, meski harus belajar dari nol dalam lingkungan baru. Dedikasi Tanpa Batas untuk Tim Selama lebih dari satu dekade, dr. Rafi tidak hanya menjadi dokter tim, tetapi juga bagian penting dari keluarga besar Persib Bandung. Ia selalu hadir untuk memastikan kesehatan para pemain, baik di dalam maupun di luar lapangan. Dalam setiap pertandingan, ia selalu berada di sisi lapangan, siap memberikan bantuan medis kapan pun dibutuhkan. Komitmennya terhadap kesehatan pemain dan profesionalismenya menjadikan dr. Rafi sosok yang sangat dihormati. Ia dikenal sebagai dokter yang tidak hanya peduli terhadap kondisi fisik para pemain, tetapi juga memahami pentingnya kesehatan mental mereka. Dalam momen kemenangan maupun kekalahan, ia selalu memberikan dukungan yang tulus kepada seluruh anggota tim. Kepergian yang Membawa Duka Kepergian dr. Rafi pada usia 55 tahun menjadi kehilangan besar bagi Persib Bandung dan dunia olahraga Indonesia. Beliau menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada Senin malam, 23 Desember 2024. Jenazahnya akan dimakamkan di TPU Sinaraga, Kota Bandung, sebagai bentuk penghormatan terakhir dari keluarga, kerabat, dan seluruh komunitas Persib. Dalam momen-momen terakhirnya, banyak rekan, pemain, dan penggemar yang mengenang dr. Rafi sebagai sosok yang penuh semangat dan dedikasi. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam, tetapi juga warisan inspirasi bagi generasi berikutnya. Warisan Abadi Dr. Rafi adalah simbol dari pengabdian tulus di balik layar dunia olahraga. Ia menunjukkan bahwa peran seorang dokter tim lebih dari sekadar tugas medis—itu adalah tanggung jawab moral untuk menjaga kesejahteraan dan semangat tim. Kebaikan hati, kerja keras, dan profesionalismenya akan selalu dikenang sebagai bagian dari sejarah besar Persib Bandung. Selamat jalan, dr. Rafi. Nama dan jasamu akan tetap hidup dalam hati kami. Semoga segala amal baikmu diterima di sisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan. Persib Bandung dan seluruh pecintanya akan selalu mengingatmu sebagai sosok yang berdedikasi sepenuh hati. Baca juga: Mengupas Slogan “No Leader, Just Together” Idealisme Kolektif di Suporter Sepak Bola dan Kehidupan Sosial Tragedi Munich dan Perjalanan Karier George Best: Kisah Inspiratif dari Duka hingga Legenda Més que un Club: Lebih dari Sekadar Klub, Simbol Identitas Katalan
Menerima Takdir dengan Cinta: Menggali Makna “Fatum Brutum Amor Fati”
LEFT-BACK.COM – Fatum brutum amor fati adalah sebuah frasa Latin yang sering dikaitkan dengan filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche. Frasa ini menjadi populer dalam beberapa tahun terakhir dan sering digunakan sebagai motto hidup atau kutipan inspirasional. Etimologi: Fatum: Berarti takdir atau nasib. Ini merujuk pada konsep bahwa segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya. Brutum: Berarti kejam, brutal, atau kasar. Ini menggambarkan sifat takdir yang seringkali dianggap keras dan tidak adil. Amor: Berarti cinta atau kasih sayang. Fati: Bentuk genitif dari fatum, berarti “dari takdir.” Secara keseluruhan, frasa ini dapat diartikan sebagai “mencintai takdir yang kejam”. Mengapa Frasa Ini Dikenal? Nietzsche menggunakan frasa ini untuk menggambarkan sikap penerimaan total terhadap kehidupan dan segala sesuatu yang terjadi di dalamnya, termasuk penderitaan dan kesulitan. Menurutnya, kita harus belajar untuk mencintai takdir kita, bahkan jika takdir itu kejam. Konsep Amor Fati:Konsep “amor fati” ini menjadi sangat populer dan sering dibahas dalam berbagai konteks, mulai dari filsafat hingga psikologi. Konsep ini mengajak kita untuk: Menerima apa adanya: Mengakui bahwa banyak hal di luar kendali kita. Menemukan makna: Bahkan dalam situasi yang sulit, kita bisa menemukan makna dan tujuan hidup. Bertumbuh: Melalui kesulitan, kita bisa menjadi lebih kuat dan bijaksana. Fatum brutum amor fati bukan hanya sekedar frasa, tetapi sebuah undangan untuk menjalani hidup dengan lebih penuh kesadaran dan penerimaan. Baca juga: Menggali Makna di Balik Catatan Seorang Demonstran: Warisan Abadi Soe Hok Gie Fenomena Bisnis Garam Rukiah: Antara Penipuan dan Potret Ketimpangan Edukasi Masyarakat Pada Batas yang Tak Bernama
Menggali Makna di Balik Catatan Seorang Demonstran: Warisan Abadi Soe Hok Gie
LEFT-BACK.COM – Soe Hok Gie, seorang aktivis muda yang hidup di tengah pergolakan politik Indonesia, berhasil meninggalkan warisan pemikiran yang mendalam melalui karya monumental Catatan Seorang Demonstran. Di balik catatan hariannya, terpendam refleksi yang relevan hingga kini—sebuah seruan untuk kejujuran, keberanian, dan semangat melawan ketidakadilan. Pemikiran Kritis yang Tak Lekang oleh Waktu Soe Hok Gie selalu percaya bahwa “lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Pernyataan ini menunjukkan sikap tegasnya terhadap ketidakadilan. Melalui setiap tulisannya, ia menggambarkan bagaimana kekuasaan sering kali berujung pada korupsi yang membutakan nurani. Gie tanpa ragu mengkritik pemimpin-pemimpin yang melupakan tanggung jawab moralnya terhadap rakyat. Sebagai pribadi yang selalu mempertanyakan status quo. Sikap kritisnya tercermin dalam salah satu tulisannya: “Bagiku perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata,” Kalimat ini menekankan bahwa perjuangan bukan hanya sekadar wacana, tetapi juga tindakan nyata. Dalam era digital yang penuh dengan informasi instan, pesan ini masih relevan—mengajak kita untuk tidak hanya bicara, tetapi juga bertindak. Lebih dari itu, Gie tidak percaya pada slogan-slogan kosong. “Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya,” Kutipan ini menggambarkan bahwa cinta tanah air yang sejati hanya bisa tumbuh dari pemahaman mendalam tentang negeri ini, termasuk rakyatnya. Gie dengan tegas menolak patriotisme palsu yang hanya berdasar pada retorika kosong tanpa tindakan. Relasi dengan Alam: Pelarian dari Hiruk Pikuk Dunia Salah satu sisi menarik dari Soe Hok Gie adalah kecintaannya pada alam. Bagi Gie, alam adalah ruang refleksi, tempat ia menemukan kedamaian, sekaligus sarana untuk mengenal Indonesia secara langsung. “Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung,” Pernyataan ini mencerminkan filosofi Gie tentang bagaimana mendekatkan diri pada Indonesia yang sesungguhnya. Dengan mendaki gunung, Gie dan teman-temannya tidak hanya menjaga kesehatan fisik, tetapi juga belajar memahami negeri ini melalui interaksi langsung dengan rakyat dan alamnya. Dalam konteks ini, pendakian gunung bagi Soe Hok Gie bukan sekadar aktivitas rekreasi, melainkan juga wujud nyata dari semangat patriotisme yang jauh dari slogan. Hal ini menjadi pesan penting bagi generasi muda masa kini, yang sering kali terjebak pada romantisasi cinta tanah air tanpa usaha konkret untuk mengenalnya lebih dekat. Membangun Generasi yang Kritis dan Berani Sebagai generasi muda, Gie mengingatkan kita untuk berani mengambil sikap dan memperjuangkan apa yang benar, tanpa gentar pada risiko yang mungkin dihadapi. Salah satu pesannya yang paling relevan berbunyi, “Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi aku memilih untuk menjadi manusia merdeka,” Di era sekarang, di mana banyak orang enggan terlibat dalam isu-isu sosial, pesan ini menjadi seruan penting untuk bangkit dan peduli. Sebab, hanya dengan keberanian dan kepedulian, bangsa ini dapat bergerak menuju perubahan yang lebih baik. Menghidupkan Warisan Soe Hok Gie di Masa Kini Catatan Seorang Demonstran bukan hanya dokumen sejarah, melainkan peta moral yang memandu generasi muda dalam memperjuangkan nilai-nilai luhur seperti keadilan, kejujuran, dan keberanian. Gie menekankan pentingnya membangun masyarakat yang lebih manusiawi, di mana “kebahagiaan adalah ketika kita melihat orang lain tersenyum,” Membaca kembali catatan-catatan Gie, kita diingatkan bahwa perjuangan melawan ketidakadilan adalah tugas yang tak pernah selesai. Namun, harapan untuk masa depan yang lebih baik akan selalu ada, selama masih ada mereka yang berani menyuarakan kebenaran. Warisan pemikiran Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran adalah harta berharga yang tidak lekang oleh waktu. Idealisme, keberanian, dan kecintaannya pada tanah air menjadi inspirasi yang terus relevan hingga kini. Di tengah kompleksitas zaman modern, Gie mengajarkan kita untuk tetap jujur, kritis, dan teguh memperjuangkan kebenaran—sebuah pelajaran hidup yang tak ternilai bagi generasi mendatang. Baca juga: Soe Hok Gie: Suara Kritis yang Tak Pernah Redup Mario Kempes: Legenda Argentina yang Menginspirasi Hingga Mampir ke Indonesia Mengenang Gajayana, Stadion Tertua di Indonesia
Soe Hok Gie: Suara Kritis yang Tak Pernah Redup
LEFT-BACK.COM – Tanggal 16 Desember 1969 menjadi hari yang kelam bagi dunia intelektual Indonesia. Di puncak Gunung Semeru, Soe Hok Gie, seorang pemuda idealis dan kritis, menghembuskan napas terakhirnya. Kematiannya bukan sekadar kehilangan bagi keluarga dan teman-temannya, melainkan juga menjadi duka mendalam bagi bangsa Indonesia. Lahir pada 17 Desember 1942, Soe Hok Gie tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan pergolakan politik. Sebagai seorang mahasiswa sejarah di Universitas Indonesia, ia aktif dalam berbagai gerakan mahasiswa. Melalui tulisannya di majalah mahasiswa dan catatan pribadinya yang kemudian dibukukan sebagai “Catatan Seorang Demonstran”, ia mengutarakan pemikiran-pemikiran kritisnya tentang kondisi sosial politik Indonesia. Soe Hok Gie bukan sekadar pengamat, melainkan seorang pelaku sejarah. Ia tidak hanya menyuarakan ketidakadilan yang terjadi, tetapi juga turut serta dalam upaya mengubah keadaan. Kata-katanya yang tegas, seperti “Kita tidak boleh takut pada kebenaran” dan “Jangan pernah kehilangan harapan”, menjadi semangat bagi banyak orang untuk terus berjuang. Salah satu kutipannya yang paling terkenal adalah “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”, yang mencerminkan keberaniannya dalam mempertahankan prinsip. Pemikiran Soe Hok Gie sangat relevan hingga kini. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya berpikir kritis, berani menyuarakan kebenaran, dan tidak takut menghadapi konsekuensi. Dalam era informasi yang serba cepat seperti sekarang, pemikirannya menjadi semacam kompas yang memandu kita untuk tidak terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan. Kematian Soe Hok Gie di puncak Gunung Semeru masih menjadi misteri. Ada yang mengatakan bahwa ia meninggal karena menghirup gas beracun, namun ada juga yang menduga bahwa kematiannya tidak wajar. Namun, terlepas dari penyebab kematiannya, semangat juangnya tetap hidup dan menginspirasi banyak generasi. Soe Hok Gie bukan hanya seorang aktivis, tetapi juga seorang pendaki gunung yang ulung. Baginya, mendaki gunung bukan sekadar hobi, melainkan juga sebuah metafora untuk perjalanan hidup. Dalam setiap pendakian, ia menemukan ketenangan dan inspirasi. Kata-katanya, “Di gunung, kita belajar tentang kerendahan hati dan kebesaran alam,” masih sangat relevan hingga saat ini. Warisan pemikiran Soe Hok Gie akan selalu menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Ia adalah simbol dari generasi muda yang berani melawan ketidakadilan dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Kata-katanya yang sederhana namun penuh makna, seperti “Jangan pernah menyerah pada mimpi” dan “Hidup harus berarti”, akan terus menginspirasi kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Baca juga: Fenomena Bisnis Garam Rukiah: Antara Penipuan dan Potret Ketimpangan Edukasi Masyarakat Mario Kempes: Legenda Argentina yang Menginspirasi Hingga Mampir ke Indonesia Tradisi Penyapu Koin di Jembatan Sewo: Warisan Budaya Pantura yang Sarat Makna
Fenomena Bisnis Garam Rukiah: Antara Penipuan dan Potret Ketimpangan Edukasi Masyarakat
LEFT-BACK.COM – Dalam era modern ini, salah satu fenomena bisnis yang mencuat adalah penjualan garam rukiah, sebuah komoditas yang dipasarkan dengan klaim spiritual berlapis agama. Padahal, secara substansi, produk ini tidak jauh berbeda dari garam kasar biasa atau garam krosok. Ironisnya, garam ini dijual dengan harga fantastis, mencapai Rp150.000 per kemasan, jauh melampaui harga garam krosok yang berkisar Rp3.000–6.000 per 500 gram. Lonjakan harga hingga lebih dari 2.000% ini menimbulkan pertanyaan: mengapa masyarakat bersedia membeli produk seperti ini? Dalam analisis yang disampaikan oleh seorang doku vlogger di video Ferry Irwandi, fenomena ini tidak hanya menunjukkan sisi gelap komersialisasi spiritual, tetapi juga memotret lemahnya edukasi masyarakat terhadap penipuan berkedok agama. Komersialisasi Spiritual: Penipuan yang Dibungkus Agama Penjualan garam rukiah menjadi salah satu bentuk bisnis yang dianggap mencederai nilai-nilai agama. Dengan mengklaim manfaat beragam—mulai dari melariskan usaha, mendekatkan jodoh, hingga menangkal gangguan mistis—produk ini dipasarkan tanpa dasar ilmiah maupun dukungan legitimasi dari para ahli agama. Bahkan, salah satu kasus yang diungkap menunjukkan penggunaan foto ulama terkenal seperti Syekh Ali Jaber (alm.) tanpa izin sebagai alat pemasaran. Penipuan ini semakin berbahaya karena memanfaatkan keyakinan religius masyarakat, terutama yang memiliki kecenderungan mistis. Saat produk tidak memberikan hasil seperti yang dijanjikan, pembeli sering disalahkan atas “kurangnya ibadah” atau “kurangnya sedekah,” menciptakan lingkaran manipulasi yang sulit ditembus. Kerugian Masyarakat Kecil Bisnis garam rukiah menjadi sangat menguntungkan bagi pelaku dengan omzet hingga miliaran rupiah per bulan, tetapi hal ini terjadi di atas penderitaan masyarakat kecil. Kelompok rentan, seperti masyarakat berpendapatan menengah ke bawah, menjadi target utama. Mereka, yang minim akses edukasi dan informasi, sering kali terjebak dalam logika mistis yang menggantikan pola pikir kritis. Fenomena ini menunjukkan bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai spiritual dapat disalahgunakan. Dengan uang pas-pasan, mereka membeli produk yang sebenarnya tidak memiliki manfaat nyata, hanya untuk mendapatkan “ketenangan semu” yang dijual dengan harga mahal. Peran Pemerintah dan Edukasi Masyarakat Minimnya intervensi dari pemerintah maupun regulator menjadi salah satu penyebab mengapa bisnis semacam ini terus berkembang. Produk seperti garam rukiah seharusnya diawasi, terutama karena banyak pelaku bisnis ini melanggar etika, bahkan menggunakan klaim keagamaan yang tidak berdasar. Sebagai masyarakat, kita juga memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi satu sama lain. Tidak perlu menunggu perubahan besar; menyadarkan satu orang saja di sekitar kita sudah menjadi langkah berarti dalam memerangi fenomena ini. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa: Perjuangan Bersama Penipuan berkedok agama seperti bisnis garam rukiah bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga edukasi dan kesadaran sosial. Untuk melawan praktik ini, dibutuhkan kolaborasi dari semua pihak—masyarakat, pemerintah, hingga tokoh agama. Meski sulit, mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah hal yang mustahil. Dengan langkah bersama, harapan untuk membangun masyarakat yang lebih kritis, rasional, dan teredukasi masih bisa diwujudkan. Mari kita mulai dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar. Baca juga: Pelajar SMA di Puncak Bogor Jadi Korban Penipuan di TikTok, Rugi Rp 500 Ribu Tragedi Munich dan Perjalanan Karier George Best: Kisah Inspiratif dari Duka hingga Legenda Sejarah Mia San Mia: Filosofi Mendalam di Balik Kesuksesan Bayern Munich Sumber:
PUISI – Pada Batas yang Tak Bernama
– Chintya Tiyut Kehadiranmu, seperti angin yang menenangkan gelombang, Kau pembeda dari siapapun penghuni bumi yang pernah ada. Aku menemukanmu, tidak dalam kesibukan dunia, Namun dalam tenangnya hati yang berbisik tentangmu. Aku tidak ingin meninggalkan momen ini tanpamu, Meskipun hanya dalam dimensi maya yang tak kasat mata. Setidaknya kamu hadir, menjadi nyata di ruang sunyi, Menyulam jarak menjadi cerita yang tak terputuskan. Tersimpan rapi, setiap bayangmu dalam bait intuisi, Seperti mantra yang kusebut di setiap penghujung malam. Aku tahu waktu akan menagih kita pada persimpangan, Di mana takdir harus memilih jalan yang mungkin tak berpihak. Namun, aku tidak gentar. Dipisahkan atau disatukan, aku siap dengan segala risikonya. Dan bila semesta berbaik hati mengabulkan satu permintaan, Biarkan aku memelukmu— Untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Baca juga: Mengupas Slogan “No Leader, Just Together” Idealisme Kolektif di Suporter Sepak Bola dan Kehidupan Sosial Més que un Club: Lebih dari Sekadar Klub, Simbol Identitas Katalan Mengenang Gajayana, Stadion Tertua di Indonesia
Tempe Mentega Sari Rasa: Kuliner Premium dari Puncak Bogor yang Menggoda Selera
LEFT-BACK.COM – Siapa bilang tempe hanya makanan biasa? Inovasi terbaru dari Desa Leuwimalang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, membuktikan sebaliknya. Hadir dengan nama Tempe Mentega Sari Rasa, kreasi unik ini memadukan tempe tradisional dengan mentega berkualitas premium, menciptakan sensasi baru yang menggugah selera. Sang kreator Tempe Mentega Sari Rasa, Arif Sriyanto menggagas ide ini untuk mengangkat tempe menjadi sajian yang lebih istimewa. Dengan tagline Sari Rasa, Kualitas Super, produk ini berhasil mengubah persepsi masyarakat tentang tempe. “Kami ingin memberikan sesuatu yang berbeda. Campuran mentega ini membuat rasa tempe menjadi lebih kaya dan cocok untuk berbagai jenis olahan,” ungkap Arif saat ditemui, Jumat (6/12/2024). Baca juga: Es Teh: Minuman Favorit yang Menopang Ekonomi Indonesia Tempe Mentega Sari Rasa diproduksi dengan fermentasi selama 48 jam menggunakan kedelai pilihan berkualitas premium. Proses ini memastikan tekstur tempe yang pulen, aroma yang khas, dan rasa yang lezat. Sentuhan mentega premium sebagai inovasi utama memberikan dimensi baru pada cita rasa, menjadikannya favorit banyak orang. Saat ini, Tempe Mentega Sari Rasa telah tersedia di berbagai tempat seperti Pasar Cisarua, restoran, katering, dan warung sekitar. Dengan harga yang sangat terjangkau, yakni Rp4.000 per potong (4 ons), tempe ini juga mulai menarik perhatian konsumen di luar Bogor, seperti Ciracas dan Cijantung. Tidak berhenti di situ, Arif memiliki visi besar untuk produknya. Dalam waktu dekat, Tempe Mentega Sari Rasa akan masuk ke jaringan supermarket dan minimarket setelah proses sertifikasi halal selesai. Langkah ini diharapkan dapat menjangkau lebih banyak konsumen yang menginginkan tempe dengan kualitas premium dan cita rasa yang berbeda. Baca juga: Mengenang Gajayana, Stadion Tertua di Indonesia Tempe Mentega Sari Rasa tidak hanya mengangkat nilai tempe sebagai makanan tradisional, tetapi juga menghadirkan inovasi yang membanggakan. Kombinasi tempe dan mentega ini cocok untuk dinikmati langsung atau diolah menjadi berbagai hidangan seperti gorengan, tumisan, atau bahkan topping makanan modern. Bagi Anda yang ingin mencoba kelezatan tempe mentega ini, segera dapatkan produk Tempe Mentega Sari Rasa di pasar atau warung terdekat. Anda juga bisa menghubungi kontak yang tertera di kemasan untuk pemesanan. Jangan lewatkan kesempatan merasakan sensasi tempe mentega dengan kualitas premium yang siap memanjakan lidah Anda. Tempe Mentega Sari Rasa adalah bukti bahwa inovasi sederhana bisa membawa pengalaman kuliner ke level yang lebih tinggi.