Mengkritisi Pengelolaan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPST) di Kabupaten Indramayu

LEFT-BACK.COM – Pengelolaan sampah di Kabupaten Indramayu menyisakan banyak pertanyaan, terutama jika menilik kondisi Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPST) yang tersebar di berbagai kecamatan. Alih-alih menjadi solusi, keberadaan TPST justru kerap menghadirkan masalah baru bagi lingkungan dan warga sekitar.   Hampir seluruh TPST di wilayah ini, khususnya di Kecamatan Terisi dan Cikedung, menunjukkan kondisi yang jauh dari kata layak. Tumpukan sampah terlihat menggunung dan tercecer, tanpa sistem pengelolaan yang jelas. Beberapa titik bahkan tak lagi memiliki atap, dan temboknya dibiarkan jebol tanpa perbaikan. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa pengelolaan sampah belum menjadi perhatian utama dalam agenda pemerintah daerah.   Yang mencolok, kondisi buruk ini seolah dianggap sebagai hal biasa. Tidak ada yang benar-benar menganggapnya layak, tapi juga tidak terlihat ada upaya nyata untuk memperbaikinya. Ketika fasilitas publik dibiarkan rusak dan terus digunakan tanpa perbaikan, maka yang tercermin adalah ketidakseriusan dalam menjaga lingkungan dan kesehatan masyarakat.   Minimnya fasilitas seperti kontainer tertutup dan sistem pengangkutan sampah yang konsisten memperparah keadaan. TPST yang seharusnya menjadi bagian dari sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi, kini justru terlihat sebagai titik akhir dari kepedulian pemerintah terhadap persoalan sampah.   Kondisi ini membuka ruang bagi kritik terhadap lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam hal perencanaan, pembangunan, dan perawatan infrastruktur lingkungan. Keterbatasan anggaran kerap dijadikan alasan, namun pada saat yang sama, kerusakan yang dibiarkan terus berlangsung menandakan lemahnya prioritas.   Jika dibiarkan, kondisi ini tidak hanya mencoreng wajah tata kelola lingkungan, tetapi juga berpotensi memicu krisis kebersihan dan kesehatan di masa mendatang. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa TPST berfungsi sebagaimana mestinya—bukan sekadar tumpukan sampah di tengah pemukiman atau areal pertanian.   Baca juga: Totti vs Del Piero: Ketika Sepakbola Italia Menjadi Panggung Seni dan Perang Indramayu: Paradoks Cahaya Literasi dan Angka Melek Huruf Bupati Indramayu Diduga Liburan ke Jepang Tanpa Izin, Wamendagri: Bisa Kena Sanksi Pemberhentian Sementara

Totti vs Del Piero: Ketika Sepakbola Italia Menjadi Panggung Seni dan Perang

LEFT-BACK.COM – Sebelum dunia tersihir oleh dua kutub magnetik bernama Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, Italia sudah lebih dulu punya sepasang bintang yang membelah hati jutaan tifosi: Francesco Totti dan Alessandro Del Piero. Jika Ronaldo dan Messi adalah dua poli kekuatan yang mendominasi globalisasi sepak bola modern, maka Totti dan Del Piero adalah simbol lokalitas yang membakar Serie A dalam romantisme rivalitas yang tak pernah usai.   Totti adalah gladiator sejati. Ia bukan sekadar kapten AS Roma—ia adalah jantung, napas, dan jiwa kota itu. Kesetiaannya pada satu panji menjadikannya lebih dari sekadar legenda—ia adalah mitos yang hidup. Umpan-umpannya tak hanya presisi, tapi punya visi seperti seorang kaisar yang mengatur pertempuran dari singgasananya. Totti tidak bermain untuk sekadar menang, ia bermain untuk menghidupkan Roma. Ia adalah panglima yang setia mati pada pasukannya.   Sementara itu, Del Piero adalah seniman lapangan hijau. Ia bukan prajurit, melainkan penyair yang menulis puisi dengan kaki kanannya. Tendangan bebasnya seperti lukisan da Vinci—penuh detail, harmoni, dan keindahan dari awal hingga akhir. Ia memimpin Juventus dengan elegansi. Bahkan saat klubnya jatuh ke Serie B, Del Piero tetap tinggal, bukan karena ia tak punya pilihan, tapi karena cinta tak butuh alasan.   Rivalitas mereka di Serie A adalah drama epik. Setiap akhir pekan, stadion berubah menjadi Colosseum modern, di mana para tifosi berperan sebagai chorus dalam tragedi Yunani yang terus berulang. Namun, justru ketika keduanya bersatu di timnas Italia, tensi menjadi paradoks. Siapa yang lebih pantas memakai nomor 10? Perdebatan itu seperti dua kaisar Italia yang saling berebut mahkota. Tapi Piala Dunia 2006 membuktikan: dua matahari bisa bersinar di langit yang sama.   Messi dan Ronaldo boleh menumpuk Ballon d’Or, tapi Totti dan Del Piero memberikan kita sesuatu yang tak bisa dihitung: jiwa. Rivalitas mereka bukan sekadar pertarungan, melainkan cermin dari identitas sepakbola Italia—penuh gairah, keindahan, dan drama. Mereka adalah warisan. Mereka adalah seni. Dan dalam sepakbola, itu jauh lebih abadi daripada sekadar gelar.   Baca juga: Bupati Indramayu Diduga Liburan ke Jepang Tanpa Izin, Wamendagri: Bisa Kena Sanksi Pemberhentian Sementara Sepak Bola dan Perlawanan: Dari Socrates hingga RUU TNI Menyusuri Napoli: Ketika Sepak Bola Menjadi Agama, dan Maradona Menjadi Nabinya

Sepak Bola dan Perlawanan: Dari Socrates hingga RUU TNI

LEFT-BACK.COM – Sepak bola, bagi banyak orang, hanyalah permainan. Namun, sejarah membuktikan bahwa sepak bola bisa menjadi panggung perlawanan politik. Dari Brasil hingga Uni Soviet, dari Spanyol hingga Argentina, para pesepakbola pernah berdiri melawan tirani, menyuarakan keadilan, dan menolak tunduk pada penguasa otoriter. Kini, ketika wacana tentang RUU TNI mencuat dan menimbulkan perdebatan mengenai potensi militerisme dalam kehidupan sipil, refleksi atas sejarah perlawanan dalam sepak bola menjadi relevan.   Socrates dan Democracia Corinthiana   Brasil di era 1980-an berada di bawah kediktatoran militer. Pemerintah mengekang kebebasan berpendapat, membatasi demokrasi, dan menekan berbagai elemen masyarakat. Di tengah situasi itu, muncul seorang pesepakbola bernama Socrates. Ia bukan hanya seorang playmaker berbakat, tetapi juga seorang intelektual dan aktivis yang percaya bahwa sepak bola bisa menjadi alat perubahan sosial.   Bersama rekan-rekannya di Corinthians, ia menggagas Democracia Corinthiana, sebuah sistem di mana keputusan klub dibuat secara demokratis oleh pemain dan staf, tanpa tekanan dari manajemen atau pemerintah. Socrates bahkan menggunakan popularitasnya untuk mendorong rakyat Brasil agar memilih demokrasi dalam referendum nasional. Baginya, sepak bola bukan hanya hiburan, melainkan juga medan perjuangan.   Oleg Kuznetsov dan Tekanan Uni Soviet   Di Eropa Timur, sepak bola juga pernah menjadi alat perlawanan terhadap rezim otoriter. Uni Soviet terkenal dengan kontrol ketatnya terhadap semua aspek kehidupan, termasuk olahraga. Para pemain harus patuh pada negara, bahkan banyak klub besar dimiliki oleh militer atau kepolisian. Namun, ada beberapa pemain yang berani berbicara.   Oleg Kuznetsov, bek tangguh Soviet, dikenal tidak hanya karena kemampuannya di lapangan, tetapi juga karena sikapnya yang enggan menjadi alat propaganda negara. Meski tidak melakukan perlawanan terbuka seperti Socrates, ia tetap menunjukkan sikap kritis terhadap kontrol pemerintah atas sepak bola dan kebebasan individu. Sikap semacam ini, dalam negara otoriter, adalah bentuk perlawanan yang berisiko.     Sepak Bola di Tengah Otoritarianisme   Sejarah mencatat banyak pemain yang menolak tunduk pada rezim diktator: dari Diego Maradona yang menentang kebijakan neoliberalisme hingga pemain Spanyol yang menolak Franco. Mereka membuktikan bahwa sepak bola lebih dari sekadar permainan. Ia bisa menjadi senjata melawan ketidakadilan.   Kini, di Indonesia, disahkannya RUU TNI kembali membuka perdebatan tentang peran militer dalam kehidupan sipil. Beberapa pihak khawatir bahwa kebijakan ini akan membuka jalan bagi kontrol yang lebih luas dari institusi bersenjata terhadap ranah publik. Dalam konteks ini, melihat kembali sejarah perlawanan dalam sepak bola menjadi penting.   Pertanyaannya, apakah sepak bola Indonesia juga bisa menjadi ruang perlawanan? Atau justru, seperti yang sering terjadi, ia akan dikooptasi oleh kekuasaan? Sejarah memberikan contoh bahwa sepak bola bisa menjadi alat perubahan. Tinggal bagaimana para pemain, pelatih, dan suporter memilih untuk bersikap.   Pada akhirnya, seperti kata Socrates, “Tanpa kebebasan, tidak ada sepak bola yang sesungguhnya.”   Baca juga: Gelombang Aksi Tolak Revisi UU TNI di Berbagai Kota Berujung Represi Aparat Misteri Pembunuhan JFK: Fakta Baru dari Ribuan Dokumen yang Dideklasifikasi Lebih dari Sekadar Angka: Persib 1933 dan Arti Sebuah Warisan  

Lebih dari Sekadar Angka: Persib 1933 dan Arti Sebuah Warisan

LEFT-BACK.COM – Tahun berdiri sebuah klub sepak bola bukan sekadar angka. Ia adalah simbol sejarah, identitas, dan kebanggaan yang melekat pada klub serta suporternya. Beberapa klub besar di dunia, seperti Real Madrid, Manchester United, Schalke 04, dan Arsenal, pernah mengalami revisi atau klarifikasi terkait tahun berdiri mereka. Namun, perubahan tersebut diterima tanpa gejolak besar karena adanya kesinambungan sejarah yang jelas, transparansi dalam prosesnya, serta keterlibatan suporter.   Lain halnya dengan Persib Bandung, yang selama puluhan tahun dikenal sebagai klub yang berdiri pada 14 Maret 1933. Tahun ini menjadi titik awal dari eksistensi Persib sebagai klub sepak bola yang solid, memiliki struktur organisasi yang kuat, dan berkompetisi secara resmi dalam kancah sepak bola Indonesia. Namun, pada 17 Desember 2023, diumumkan bahwa tahun berdiri Persib diubah menjadi 5 Januari 1919, dengan merujuk pada Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB), organisasi sepak bola yang pernah eksis di Bandung.   Alih-alih disambut dengan penerimaan luas, perubahan ini justru menimbulkan kontroversi besar di kalangan Bobotoh. Banyak yang mempertanyakan validitas klaim tersebut, dan lebih dari itu, resistensi yang muncul menunjukkan bahwa perubahan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga menyentuh identitas kolektif suporter yang telah terbangun selama puluhan tahun.   Kasus Klub-Klub Eropa yang Mengubah Tahun Berdiri   1. Real Madrid (1902)   Real Madrid lahir pada 6 Maret 1902, meskipun beberapa catatan menyebutkan bahwa kegiatan sepak bola di Madrid sudah dimulai sejak 1897 dengan adanya klub Sky Football. Namun, karena tidak ada kesinambungan langsung antara Sky Football dan Madrid Football Club (nama awal Real Madrid), tahun 1902 tetap diakui sebagai tahun resmi berdirinya klub. Keputusan ini diterima tanpa kontroversi karena sejak awal tidak ada upaya untuk mengubah sejarah yang sudah mapan.   2. Manchester United (1878 → 1902)   Manchester United awalnya didirikan sebagai Newton Heath LYR Football Club pada 1878. Karena masalah keuangan, klub ini direstrukturisasi pada 1902, berganti nama menjadi Manchester United, dan berkembang menjadi klub raksasa seperti sekarang. Meskipun ada perubahan signifikan, tahun 1878 tetap diakui sebagai tahun berdiri karena tidak ada jeda dalam eksistensi klub. Perubahan ini tidak menimbulkan perdebatan karena identitas Newton Heath tetap dianggap bagian dari sejarah Manchester United.   3. FC Schalke 04 (1924 → 1904)   Schalke 04 secara resmi bergabung dengan asosiasi sepak bola Jerman pada 1924, tetapi tetap mengklaim 1904 sebagai tahun berdirinya karena aktivitas sepak bola di komunitas Schalke sudah berlangsung sejak tahun itu. Angka “04” bahkan menjadi bagian dari nama klub, memperkuat legitimasi klaim tersebut. Penerimaan ini terjadi karena tidak ada perubahan mendadak atau upaya untuk merevisi sejarah yang sudah diakui secara luas oleh suporternya.   4. Arsenal (1886 sebagai Dial Square)   Arsenal didirikan pada 1886 dengan nama Dial Square, sebelum mengalami beberapa kali perubahan nama hingga menjadi Arsenal pada 1914. Meskipun ada transformasi besar, tahun 1886 tetap diakui sebagai tahun berdiri klub karena ada kesinambungan organisasi yang jelas. Sejak awal, perubahan ini diterima karena sosialisasi yang baik dan tidak adanya upaya untuk menulis ulang sejarah dengan cara yang mengubah persepsi publik.   Kasus Persib Bandung: Perubahan yang Mengundang Kontroversi   Jika klub-klub Eropa tetap mempertahankan tahun berdiri yang telah lama dikenal meskipun mengalami perubahan besar, mengapa Persib Bandung justru mengubah tahun berdirinya dari 1933 menjadi 1919?   1. Tidak Ada Kesinambungan Langsung Antara BIVB dan Persib   Klaim bahwa Persib berdiri pada 5 Januari 1919 didasarkan pada fakta bahwa BIVB adalah organisasi sepak bola di Bandung yang dianggap sebagai cikal bakal Persib. Namun, ada masalah besar dalam klaim ini: BIVB bubar pada 1925, dan setelah itu tidak ada organisasi sepak bola di Bandung yang menjadi penerus langsung sebelum lahirnya Persib pada 1933.   Ini berbeda dengan kasus klub-klub Eropa seperti Manchester United dan Arsenal, yang meskipun mengalami perubahan nama dan struktur, tetap memiliki kontinuitas sejarah tanpa ada periode vakum. Dalam kasus Persib, ada celah sejarah antara 1925 hingga 1933 yang tidak terjelaskan, sehingga klaim tahun 1919 sebagai tahun berdiri menjadi lemah.   2. Perubahan yang Dilakukan Secara Mendadak Tanpa Sosialisasi   Salah satu faktor utama yang membuat perubahan ini tidak diterima dengan baik oleh Bobotoh adalah minimnya komunikasi dan transparansi dalam pengambilan keputusan.   Berbeda dengan klub-klub Eropa yang melakukan perubahan secara bertahap dengan melibatkan suporter dan sejarawan, perubahan tahun berdiri Persib diumumkan secara tiba-tiba tanpa ada dialog panjang dengan komunitas suporter. Bobotoh merasa bahwa mereka tidak dilibatkan dalam keputusan yang menyangkut identitas klub yang telah mereka dukung selama puluhan tahun.   3. Tahun 1933 Sudah Terpatri dalam Identitas Persib   Tahun 1933 bukan sekadar angka bagi Bobotoh. Sejak lama, peringatan 14 Maret 1933 selalu menjadi momen penting yang dirayakan setiap tahun sebagai hari lahir Persib. Bahkan, dokumentasi resmi Persib, mulai dari sejarah klub hingga berbagai produk merchandise, selalu mencantumkan tahun 1933 sebagai tahun berdiri.   Mengubahnya menjadi 1919 seolah menghapus 90 tahun narasi yang sudah terbangun. Hal ini berbeda dengan Schalke 04, yang justru menegaskan tahun 1904 dalam nama klub mereka, atau Arsenal yang tetap merujuk tahun 1886 meskipun mengalami transformasi besar.   4. Bobotoh sebagai Penjaga Sejarah, Bukan Sekadar Pengikut Keputusan Klub   Bobotoh bukan hanya suporter biasa, mereka adalah penjaga sejarah dan budaya Persib. Mereka memiliki kesadaran kolektif yang kuat tentang sejarah klub, dan perubahan ini dianggap sebagai bentuk penulisan ulang sejarah yang tidak menghormati tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.   Di sinilah perbedaannya dengan kasus klub-klub Eropa. Ketika Manchester United dan Arsenal mengalami perubahan, tidak ada upaya untuk menghapus sejarah yang telah dikenal luas oleh publik. Sebaliknya, dalam kasus Persib, perubahan ini seolah ingin menggeser narasi yang sudah mapan, yang justru menimbulkan resistensi di kalangan suporter.   Kesimpulan: 1933 Tetaplah Persib   Perubahan tahun berdiri sebuah klub sepak bola adalah hal yang sensitif karena menyangkut identitas, sejarah, dan kebanggaan suporter. Klub-klub Eropa seperti Real Madrid, Manchester United, Schalke 04, dan Arsenal tetap mempertahankan kontinuitas sejarah mereka meskipun mengalami perubahan besar dalam organisasi. Penerimaan terhadap perubahan tersebut terjadi karena adanya kesinambungan sejarah yang jelas, transparansi dalam prosesnya, serta keterlibatan suporter dalam pengambilan keputusan.   Sebaliknya, dalam kasus Persib Bandung, perubahan dari 1933 ke 1919 justru menimbulkan perdebatan karena:   1. Tidak ada kesinambungan langsung antara

Skandal Kualifikasi Piala Dunia 1990: Drama, Kecurangan, dan Konspirasi di Maracana

LEFT-BACKCOM – Sepak bola kerap diwarnai oleh berbagai bentuk kontroversi, salah satunya adalah kecurangan—sebuah tindakan yang melibatkan manipulasi atau tindakan tidak sportif demi meraih kemenangan. Dari Diego Maradona dengan “Tangan Tuhan”-nya hingga aksi Emiliano Martínez dalam adu penalti, sejarah sepak bola mencatat berbagai insiden yang mengguncang dunia. Namun, salah satu kasus yang paling mencolok terjadi pada kualifikasi Piala Dunia 1990, ketika Brasil dan Cile terlibat dalam skandal yang mengejutkan dunia.   Dominasi Brasil di Kualifikasi Piala Dunia   Brasil adalah satu-satunya tim yang selalu lolos ke putaran final Piala Dunia sejak turnamen pertama pada 1930. Meski pernah mengalami kegagalan di turnamen, seperti kekalahan memilukan dari Italia di Piala Dunia 1982, tim Selecao tetap menjadi kekuatan dominan di Amerika Selatan.   Pada kualifikasi Piala Dunia 1990, Brasil tergabung dalam grup bersama Cile dan Venezuela. Dengan sistem kompetisi tiga tim, hanya juara grup yang mendapatkan tiket otomatis ke Italia. Venezuela dianggap sebagai tim terlemah, sehingga persaingan sebenarnya terjadi antara Brasil dan Cile.   Brasil memulai kualifikasi dengan kemenangan 4-0 atas Venezuela, sementara Cile menang 3-1. Saat kedua tim bertemu di Santiago, laga berlangsung panas dan berakhir imbang 1-1. Brasil kemudian mengalahkan Venezuela 6-0, sedangkan Cile menang 5-0 atas tim yang sama. Dengan hasil ini, laga terakhir antara Brasil dan Cile di Maracana menjadi penentu.   Maracanazo Baru? Cile Memburu Tiket ke Italia   Dengan selisih gol yang menguntungkan Brasil, Cile hanya memiliki satu pilihan: menang. Namun, mengalahkan Selecao di hadapan 140.000 pendukung yang memadati Maracana bukanlah tugas mudah. Brasil tetap menjadi favorit, meskipun harus bermain tanpa Romário yang terkena larangan bertanding.   Seperti yang diperkirakan, Brasil mendominasi jalannya pertandingan. Setelah serangan bertubi-tubi, mereka akhirnya memecah kebuntuan di babak kedua lewat gol Careca. Cile, yang membutuhkan dua gol untuk lolos, mulai bermain lebih agresif. Namun, harapan mereka untuk membalikkan keadaan pupus setelah insiden yang mengejutkan terjadi pada menit ke-68.   Insiden Rojas: Kecurangan yang Terungkap   Tiba-tiba, sorak-sorai suporter berubah menjadi kegaduhan. Kamera televisi menyorot kiper Cile, Roberto Rojas, yang tergeletak di lapangan dengan luka berdarah di kepalanya. Sebuah flare terlihat jatuh di dekatnya, dan para pemain Cile segera mengerubungi sang penjaga gawang.   Tim medis bergegas masuk, sementara rekan-rekan setimnya memutuskan untuk meninggalkan lapangan sebagai bentuk protes atas insiden tersebut. Pertandingan dihentikan, dan muncul spekulasi bahwa Brasil bisa didiskualifikasi akibat ulah pendukungnya yang melempar flare.   Namun, kecurigaan muncul ketika fotografer lokal, Paulo Teixeira, memperhatikan bahwa flare tersebut sebenarnya tidak mengenai Rojas. Foto-foto yang kemudian dipublikasikan menunjukkan bahwa benda tersebut jatuh beberapa meter dari sang kiper. Hal ini memunculkan pertanyaan: jika tidak terkena flare, lalu dari mana datangnya luka di kepala Rojas?   Konspirasi yang Terbongkar   Penyelidikan FIFA mengungkap fakta mengejutkan. Rojas ternyata telah menyembunyikan pisau cukur di sarung tangannya dan secara sengaja melukai dirinya sendiri demi menciptakan skenario yang bisa menggagalkan kemenangan Brasil. Konspirasi ini bukan hasil tindakan individu semata—pelatih Orlando Aravena dan dokter tim, Daniel Rodríguez, juga terlibat dalam rencana tersebut.   Tujuan mereka adalah menciptakan insiden yang cukup besar agar FIFA memutuskan pertandingan diulang atau bahkan memberikan kemenangan otomatis bagi Cile. Namun, skema ini terbongkar, dan akibatnya, FIFA memberikan kemenangan 2-0 untuk Brasil. Cile dilarang mengikuti kualifikasi Piala Dunia 1994, sementara Rojas menerima larangan bermain seumur hidup (meski akhirnya dicabut pada 2001).   Insiden ini menjadi salah satu momen paling memalukan dalam sejarah sepak bola. Alih-alih menciptakan Maracanazo (kemenangan tak terduga) baru seperti yang dilakukan Uruguay di final Piala Dunia 1950, Cile justru meninggalkan jejak kelam dalam sejarah sepak bola mereka.   Baca juga: Kontradiksi PSSI: Timnas Eropa, Liga Amatiran – Potret Buram Sepak Bola Indonesia Johan Cruyff dan Jersey Ikoniknya: Keteguhan Prinsip di Piala Dunia 1974 Tiago Rech: Suporter Tunggal yang Kini Menjadi Presiden Klub Santa Cruz

Alasan yang Tetap Ada

– Chintya Tiyut   Sebenarnya tidak ingin aku sampaikan, tapi sepertinya Tuhan sedang beri kesempatanku untuk bicara dari setelah sekian kesempatan bisa saling sapa, namun tidak punya kesempatan bicara.   Setidaknya,kamu tidak ada alasan untuk tidak menjalani hidup senang. Alasannya bisa kamu tangkap dari tulisan-tulisanku diatas.   Ada atau tidaknya aku setelah ini, alasan itu masih tetap sama, anggap saja selamanya ada~   Baca juga: Pada Batas yang Tak Bernama Kesepian: Pengalaman Hakiki yang Melekat pada Kehidupan Manusia Menerima Takdir dengan Cinta: Menggali Makna “Fatum Brutum Amor Fati”

Karier dan Warisan Bejo Sugiantoro

LEFT-BACK.COM – Dunia sepak bola Indonesia berduka atas kepergian Bejo Sugiantoro, salah satu bek legendaris yang pernah dimiliki Persebaya Surabaya dan Timnas Indonesia. Bejo meninggal dunia pada Selasa sore (25/2/2025), meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, sahabat, dan pencinta sepak bola Tanah Air.   Perjalanan Karier: Dari Nol Hingga Menjadi Legenda   Bejo Sugiantoro lahir di Sidoarjo pada 2 April 1977 dari keluarga sederhana. Meski tidak berasal dari latar belakang yang berkecukupan, bakat alaminya dalam mengolah bola tak luput dari perhatian seorang tetangga yang kemudian membantunya masuk ke Sekolah Sepak Bola (SSB).   “Berawal dari talent scouting tetangga saya yang mempunyai uang dan menemukan bakat saya, lalu diikutkan SSB,” kenang Bejo dalam sebuah wawancara. Berkat dukungan itu, Bejo mulai menapaki karier sepak bola secara profesional.   Pada usia 17 tahun, ia menandatangani kontrak profesional bersama Persebaya Surabaya. Kariernya dimulai dari tim junior, kemudian berkembang pesat hingga akhirnya masuk skuad senior Bajul Ijo pada 1994.   “Dari Persebaya junior tiga tahun, terus ke senior jadi berjenjang, dulu itu Piala Soeratin. Tahun 1994 saya masuk tim senior Persebaya, umur 17 sudah di tim profesional,” tuturnya.   Kesetiaan untuk Persebaya dan Kejayaan di Timnas   Sebagian besar perjalanan karier Bejo dihabiskan bersama Persebaya Surabaya. Ia membela klub kebanggaan Kota Pahlawan ini dalam dua periode, yaitu 1994–2003 dan 2004–2008. Selama berseragam Bajul Ijo, Bejo sukses mengantarkan tim meraih dua gelar Liga Indonesia pada musim 1996/1997 dan 2004.   Trofi Liga Indonesia 2004 menjadi gelar terakhir Persebaya di kasta tertinggi hingga saat ini. Perannya sebagai libero begitu dominan, menjadikannya salah satu bek terbaik yang pernah dimiliki klub ini. Kepiawaiannya dalam membaca permainan dan ketenangannya di lini belakang membuatnya menjadi ikon bagi Bonek, suporter setia Persebaya.   Tak hanya di level klub, Bejo juga menjadi pilar Timnas Indonesia. Ia memperkuat Garuda dari 1997 hingga 2004, berpartisipasi dalam berbagai turnamen internasional. Prestasi terbaiknya di level timnas adalah membawa Indonesia meraih medali perak di SEA Games 1997 dan medali perunggu di SEA Games 1999.     Warisan Seorang Legenda: Meneruskan Darah Sepak Bola   Dedikasi Bejo terhadap sepak bola tidak berhenti setelah gantung sepatu. Ia melanjutkan kiprahnya sebagai pelatih, termasuk menjadi bagian dari tim kepelatihan Persebaya dan Timnas Indonesia U-23. Semangat dan pengalamannya menjadi inspirasi bagi banyak pemain muda.   Tak hanya itu, darah sepak bolanya mengalir ke sang putra, Rachmat Irianto. Seperti sang ayah, Irianto tumbuh menjadi pesepak bola profesional dan telah memperkuat Timnas Indonesia serta beberapa klub besar Tanah Air. Saat ini, ia bermain untuk Persib Bandung dan menjadi salah satu gelandang bertahan terbaik di Indonesia.   Selamat Jalan, Bejo Sugiantoro   Kepergian Bejo Sugiantoro menjadi kehilangan besar bagi dunia sepak bola Indonesia. Namun, warisan yang ia tinggalkan akan terus hidup dalam ingatan para penggemar dan generasi penerus sepak bola nasional.   Selamat jalan, legenda. Terima kasih atas dedikasi dan perjuanganmu untuk sepak bola Indonesia. Namamu akan selalu dikenang di hati para pencinta sepak bola Tanah Air.   Baca juga: Kontradiksi PSSI: Timnas Eropa, Liga Amatiran – Potret Buram Sepak Bola Indonesia Johan Cruyff dan Jersey Ikoniknya: Keteguhan Prinsip di Piala Dunia 1974 Tiago Rech: Suporter Tunggal yang Kini Menjadi Presiden Klub Santa Cruz

Sukatani dan Polisi: Ketika Kritik Harus Bayar, Bayar, Bayar

LEFT-BACK.COM – Institusi kepolisian kembali menjadi perbincangan hangat setelah muncul dugaan pembatasan kebebasan berekspresi terhadap kritik yang ditujukan kepada mereka.   Salah satu kasus yang mencuat adalah penghapusan lagu Bayar Bayar Bayar dari semua platform digital. Lagu yang diciptakan oleh duo band post-punk asal Purbalingga, Sukatani, ini diduga mengandung lirik yang menyinggung institusi kepolisian. Kejadian ini memicu solidaritas dari warganet dan kalangan seniman, yang menilai bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk sensor terhadap karya seni.   Identitas yang Dihapus?   Dampak dari polemik ini semakin besar ketika Sukatani dipaksa untuk melakukan klarifikasi dan permintaan maaf di media sosial. Hal yang menjadi sorotan adalah absennya topeng khas yang selama ini mereka gunakan sebagai bagian dari identitas bermusik.   Dalam dunia seni dan subkultur, penggunaan topeng bukan sekadar gaya atau gimmick, melainkan simbol anonimitas yang sering kali mencerminkan perlawanan terhadap selebritas dan personalisasi yang berlebihan. Di skena punk, khususnya, menolak popularitas personal dan mengalihkan fokus ke pesan yang disampaikan adalah prinsip yang dipegang teguh.   Ketika Sukatani tampil tanpa topeng dalam permintaan maafnya, publik mulai bertanya: apakah ini merupakan tindakan sukarela atau justru akibat tekanan? Dalam subkultur punk, kehilangan anonimitas dengan cara semacam ini dapat dianggap sebagai simbol pelemahan identitas dan kebebasan berekspresi.   Punk: Musik, Ideologi, atau Keduanya?   Punk bukan hanya genre musik dengan tempo cepat dan lirik bernuansa perlawanan, tetapi juga sebuah etos hidup yang menentang konformitas, otoritas berlebihan, dan sistem yang dianggap menindas. Meskipun banyak yang mencoba mendefinisikan punk secara kaku, pada dasarnya punk adalah sikap dan kebebasan untuk bersuara tanpa takut represi.   Sebagai contoh, Beat Happening, band indie pop yang terbentuk pada 1982, memperluas definisi punk dengan pendekatan musik minimalis dan sikap non-konvensional di panggung. Meskipun tidak memiliki ciri khas punk yang umumnya dikenal, mereka tetap dianggap sebagai bagian dari gerakan karena keberanian mereka dalam menentang ekspektasi mainstream.   Dengan semangat yang sama, Sukatani seharusnya bisa berdiri tegak sebagai suara alternatif dari akar rumput. Namun, permintaan maaf mereka dinilai lebih sebagai bentuk kepatuhan terhadap tekanan eksternal, bukan refleksi atas karya yang mereka buat.     Antara Kebebasan dan Batasan   Kasus Sukatani mencerminkan bagaimana kebebasan berekspresi di Indonesia masih memiliki batasan yang samar. Negara menjanjikan ruang untuk berkarya dan berpendapat, tetapi ketika kritik diarahkan pada pihak berkuasa, seniman sering kali dipaksa menarik kembali karya mereka.   Bukan hanya soal “punk yang minta maaf,” tetapi lebih jauh lagi, ini adalah refleksi dari bagaimana tekanan sosial dan politik dapat mengikis kebebasan berekspresi. Identitas yang seharusnya menjadi bagian dari integritas seniman pun bisa direnggut dalam prosesnya.   Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa dalam sejarah punk, hubungan dengan otoritas tidak pernah harmonis. Jika ada yang membayangkan band punk merilis lagu berjudul Polisi yang Baik Hati, mungkin itu adalah sebuah anomali besar dalam sejarah subkultur ini.   Kesimpulan   Kasus Sukatani bukan sekadar cerita tentang band yang terpaksa meminta maaf, melainkan gambaran nyata tentang bagaimana kebebasan berekspresi masih bisa dibungkam dengan berbagai cara. Dalam dunia seni dan musik, kritik seharusnya menjadi bagian dari kebebasan berpendapat, bukan sesuatu yang harus ditakuti.   Pada akhirnya, kejadian ini mengingatkan kita pada sebuah kutipan yang pernah disampaikan oleh Gus Dur, yang masih relevan hingga kini:   “Hanya ada tiga polisi yang jujur: Pak Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur.”   Baca juga: Kontradiksi PSSI: Timnas Eropa, Liga Amatiran – Potret Buram Sepak Bola Indonesia Perjalanan Hidup Sang Legenda: John Lennon, Gugur Tragis di Tangan Penggemar Fanatik Kurt Cobain: Jenius Grunge yang Terjebak dalam Ketenaran dan Tragisnya Akhir Hidup

Kontradiksi PSSI: Timnas Eropa, Liga Amatiran – Potret Buram Sepak Bola Indonesia

LEFT-BACK.COM – Sepak bola Indonesia sedang berada dalam kontradiksi besar. PSSI terus membanggakan program naturalisasi pemain diaspora sebagai langkah revolusioner untuk meningkatkan kualitas Timnas. Namun, di sisi lain, kompetisi domestik—fondasi utama sepak bola nasional—masih carut-marut, penuh dengan korupsi, mismanajemen, dan kekerasan suporter yang terus berulang. Ini bukan kemajuan, ini hanya perbaikan kosmetik yang menutupi luka bernanah di tubuh sepak bola Indonesia.   Strategi naturalisasi pemain diaspora memang terlihat menjanjikan dalam jangka pendek. Dengan masuknya pemain-pemain yang telah ditempa di sistem sepak bola Eropa, Timnas Indonesia bisa tampil lebih kompetitif di level internasional. Namun, tanpa ekosistem sepak bola yang sehat di dalam negeri, langkah ini tidak lebih dari sekadar menambal atap rumah yang fondasinya sudah retak. PSSI seolah ingin mencari jalan pintas, sementara sepak bola akar rumput dibiarkan mati perlahan.   Kompetisi Liga 1 adalah cerminan nyata dari kekacauan ini. Jadwal yang berantakan, keputusan wasit yang sering dipertanyakan, manajemen klub yang dikelola secara amatiran, hingga standar keamanan yang memalukan. Tragedi Kanjuruhan di Malang yang menewaskan ratusan suporter bukan sekadar kecelakaan, tetapi bukti dari kelalaian sistemik yang terus terjadi bertahun-tahun. Apa yang berubah setelah tragedi itu? Tidak ada. Suporter masih mati di stadion, kerusuhan masih terjadi, dan PSSI masih sibuk dengan retorika tanpa tindakan nyata.   Bukan hanya Kanjuruhan, sejarah sepak bola Indonesia dipenuhi dengan tragedi yang tak kunjung menjadi pelajaran. Mulai dari insiden GBK 2012 yang menewaskan suporter Persija, tragedi di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) saat Piala Presiden 2022 yang juga merenggut nyawa suporter akibat buruknya pengelolaan keamanan, hingga bentrokan suporter di berbagai laga Liga 1 yang terus berulang tanpa tindakan tegas. Alih-alih mencari solusi nyata untuk mengakhiri kekerasan di sepak bola, PSSI justru memilih jalan pintas dengan melarang kehadiran suporter tim tamu, seolah-olah rivalitas hanya bisa diredam dengan pembatasan. Ini bukan solusi, ini kemunduran.   Sementara itu, liga domestik yang seharusnya menjadi wadah perkembangan pemain muda justru semakin kehilangan arah. Klub-klub lebih memilih pemain asing atau pemain instan daripada membangun akademi berkualitas. Infrastruktur sepak bola masih jauh dari layak, dan talenta muda dibiarkan berkembang sendiri tanpa jalur yang jelas. Di negara lain, pemain muda dipersiapkan dengan sistem akademi yang terstruktur, sementara di Indonesia mereka hanya berharap pada keberuntungan.   Jika PSSI benar-benar ingin membawa sepak bola Indonesia ke level yang lebih tinggi, mereka harus berhenti berjualan mimpi dengan naturalisasi semata. Membangun liga yang profesional, membenahi manajemen klub, menegakkan regulasi keamanan yang ketat, serta menciptakan jalur pembinaan pemain muda yang jelas harus menjadi prioritas. Jika tidak, sepak bola Indonesia hanya akan menjadi panggung sandiwara, di mana yang bersinar hanyalah ilusi, sementara realitasnya tetap penuh dengan kegagalan dan kekecewaan.   Baca juga: Johan Cruyff dan Jersey Ikoniknya: Keteguhan Prinsip di Piala Dunia 1974 Menyusuri Napoli: Ketika Sepak Bola Menjadi Agama, dan Maradona Menjadi Nabinya Tiago Rech: Suporter Tunggal yang Kini Menjadi Presiden Klub Santa Cruz

Johan Cruyff dan Jersey Ikoniknya: Keteguhan Prinsip di Piala Dunia 1974

LEFT-BACK.COM – Johan Cruyff bukan hanya legenda sepak bola Belanda, tetapi juga figur yang meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah olahraga dunia. Sebagai kapten Timnas Oranje, ia dikenal tidak hanya karena permainannya yang brilian, tetapi juga sikapnya yang teguh dalam mempertahankan prinsip.   Pada era tersebut, Federasi Sepak Bola Belanda (KNVB) menjalin kerja sama dengan Adidas sebagai sponsor resmi. Hal ini berarti jersey oranye klasik Timnas Belanda tidak hanya menampilkan lambang singa khas Belanda, tetapi juga tiga garis ikonik Adidas di bagian lengan. Namun, situasi menjadi unik ketika Johan Cruyff, yang memiliki kontrak pribadi dengan Puma, menolak mengenakan jersey dengan tiga garis Adidas.   Rivalitas Dua Raksasa Apparel   Keputusan Cruyff ini tidak terlepas dari sejarah panjang rivalitas antara Adidas dan Puma. Kedua merek ini berakar dari konflik keluarga antara Adolf Dassler dan Rudolf Dassler, dua bersaudara yang awalnya mendirikan perusahaan sepatu bersama di Jerman sebelum akhirnya berpisah pasca Perang Dunia II. Adolf mendirikan Adidas, sementara Rudolf membangun Puma—dan sejak saat itu, persaingan keduanya terus berlanjut di dunia olahraga.   Final Piala Dunia 1974: 21 Pemain dengan Tiga Garis, Satu Pemain Berbeda   Momen puncak dari perbedaan ini terjadi di final Piala Dunia 1974, di mana dua tim yang sama-sama disponsori Adidas, Belanda dan Jerman Barat, saling berhadapan. Namun, di antara 22 pemain yang berlaga di lapangan, hanya ada satu yang tampil berbeda—Johan Cruyff.   Dengan statusnya sebagai salah satu pemain terbaik dunia, pemenang Ballon d’Or tahun itu, dan tiga kali juara Liga Champions bersama Ajax, Cruyff memiliki pengaruh besar dalam tim. KNVB pun tak bisa berbuat banyak selain memenuhi permintaannya. Alhasil, Cruyff tampil dengan jersey oranye yang hanya memiliki dua garis di lengan, berbeda dari rekan setimnya yang mengenakan tiga garis khas Adidas.   Prinsip di Atas Segalanya   Keputusan ini tentu tidak menyenangkan bagi Adidas. Namun, Cruyff tetap teguh pada pendiriannya. Seperti dikutip dari Athletic Interest, ia pernah mengatakan, “Seragam ini mungkin milik KNVB. Namun, kepala yang menonjol di dalam seragam ini adalah milikku.”   Kisah ini menjadi salah satu contoh bagaimana seorang pemain dapat mempertahankan prinsipnya di tengah tekanan industri olahraga. Lebih dari sekadar ikon sepak bola, Johan Cruyff adalah simbol keberanian dan integritas dalam dunia olahraga.   Baca juga: Tiago Rech: Suporter Tunggal yang Kini Menjadi Presiden Klub Santa Cruz Menyusuri Napoli: Ketika Sepak Bola Menjadi Agama, dan Maradona Menjadi Nabinya El Clasico: Di Balik Lembaran Sejarah dan Api Rivalitas yang Abadi