Left-back.com – Piala Dunia 2022 menjadi klimaks dari perjalanan panjang Tim Nasional Argentina di era Lionel Messi. Kemenangan di Qatar bukan sekadar pencapaian bagi sang megabintang, namun juga sebuah bukti ketekunan kolektif dari para pemain lainnya. Salah satu pilar penting dalam kisah tersebut adalah Angel Di Maria, sang sayap lincah yang tak henti-hentinya menciptakan momen-momen krusial sepanjang kariernya. Di Maria bukan sekadar pelengkap Messi, ia adalah jantung kedua di tim Argentina yang juara dunia.
Dalam dokumenter “Angel Di Maria: Breaking Down the Wall” di Netflix, kita diajak menyusuri jejak hidup Di María dari awal yang sederhana di Rosario hingga menjelma menjadi tokoh penting di panggung sepak bola dunia. Tidak seperti banyak pesepakbola Amerika Latin lainnya yang berasal dari kemiskinan ekstrem, keluarga Di María hidup dalam kondisi yang relatif stabil. Namun, gairah dan energi Di María kecil yang seolah tak pernah habis membuat sang ayah mencari cara untuk menyalurkannya.
Sejak usia dini, Di Maria sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa kakinya seperti ditenagai mesin tanpa henti. Di usia empat tahun, ia dimasukkan ke klub lokal Torito, yang berada tak jauh dari rumah. Di sanalah bakatnya tumbuh liar dan cepat, seolah menemukan lahan subur untuk bertumbuh. Ia bukan hanya mencintai sepak bola—ia hidup untuk menendang bola.
Salah satu titik balik awal datang saat Torito mengikuti turnamen usia dini yang digelar oleh Rosario Central, klub kebanggaan kota. Dalam pertandingan melawan tim tuan rumah, Di Maria mencetak gol yang membuat pelatih Central tertarik. Ia pun diboyong ke akademi Rosario Central dengan ‘biaya transfer’ yang unik: 26 buah bola. Perjalanan seorang anak berusia enam tahun pun dimulai dengan tantangan besar—jarak rumah ke tempat latihan yang cukup jauh. Namun, ibunya adalah sosok yang tak kenal lelah. Ia mengorbankan kebutuhan anak-anak lainnya demi membelikan sepatu bola baru untuk Angel, serta mengantarnya bersepeda ke latihan demi mimpinya.
Meski kemampuan Di Maria kian menonjol, tubuhnya yang kurus kerap jadi alasan untuk mencadangkannya. Seorang pelatih bahkan menyarankan agar ia mencari klub lain. Namun sang ibu tetap bersikeras: Angel tidak boleh menyerah. Ia harus terus berlatih di Rosario Central, meskipun tanpa jaminan bermain.
Tekad itu berbuah hasil ketika Di Maria berusia 17 tahun. Dalam sebuah laga uji coba, ia mencetak hat-trick di hadapan manajer tim senior Rosario. Penampilan impresifnya membuka jalan debut profesional pada 14 Desember 2005 melawan Independiente, berhadapan langsung dengan Sergio Aguero. Masuk di babak kedua, Di Maria langsung menciptakan assist penting yang mengantar kemenangan. Musim berikutnya, ia resmi menjadi bagian dari tim utama.
Kiprahnya yang memikat menarik minat klub Eropa. Pada usia 19 tahun, Di Maria hijrah ke Benfica, Portugal, dengan nilai transfer sebesar 6 juta dolar. Awal kariernya di Eropa tidak mudah. Ia lebih sering duduk di bangku cadangan, masuk hanya di menit-menit akhir pertandingan. Bahkan, kehadiran kompatriotnya Pablo Aimar tak lantas memudahkan jalan masuknya ke skuad utama. Ibunya sempat menyarankannya untuk pulang ke Argentina, namun justru dari keterpurukan itulah titik balik bermula. Diperkenalkan dengan seorang sepupu dari adiknya, Di Maria mendapatkan motivasi emosional yang baru. Dukungan itu mengobarkan semangatnya, membuatnya tampil luar biasa di setiap menit yang ia dapatkan.
Di tahun ketiganya, Di Maria akhirnya menembus tim inti Benfica dan menjadi tulang punggung klub, membantu tim mempertahankan gelar juara liga. Performa tersebut menarik perhatian Timnas Argentina U-23 yang bersiap berlaga di Olimpiade Beijing 2008. Di sana, ia tampil bersama generasi emas: Messi, Aguero, Mascherano, Riquelme, hingga Zabaleta. Di Maria mencetak gol kemenangan melalui tendangan cip ke gawang Nigeria, mempersembahkan medali emas untuk Argentina.
Di Maria adalah Che. Messi adalah Fidel. Dua anak Rosario, dua jalan revolusi, satu bintang emas di Lusail. (Foto: Left Back).
Tahun berikutnya, Di Maria dipanggil ke timnas senior oleh Diego Maradona, yang bahkan terbang langsung ke Lisbon untuk menyaksikan permainannya. Meskipun sempat dikartu merah dalam laga kontra Bolivia yang berakhir kekalahan memalukan 1-6, Maradona tetap mempercayakan tempat utama kepadanya.
Di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan, Argentina melaju mulus hingga perempat final sebelum dihajar Jerman 0-4. Namun karier klub Di Maria justru meroket. Ia digaet oleh Real Madrid dan langsung menjadi bagian penting dari trio serang bersama Cristiano Ronaldo dan Karim Benzema. Gelar demi gelar diraihnya: Copa del Rey, La Liga, dan Liga Champions.
Namun musim 2013-2014 menjadi musim penuh drama. Datangnya Gareth Bale mengancam posisi Di Maria. Ia kerap dicadangkan, bahkan tertangkap kamera melakukan gerakan kontroversial saat diganti. Walau begitu, Di Maria tampil luar biasa di final Liga Champions menghadapi Atletico Madrid, membantu Madrid menjuarai “La Decima”—gelar ke-10 Liga Champions mereka. Ia dinobatkan sebagai Man of the Match.
Momentum tersebut seolah menjadi batu loncatan menuju Piala Dunia 2014 di Brasil. Bersama Messi, Di Maria mengantar Argentina ke final dengan performa penuh determinasi. Sayangnya, ia cedera saat melawan Belgia. Meski berusaha pulih demi final melawan Jerman, ia dicegah tampil oleh klubnya, Real Madrid. Sebuah surat resmi melarangnya bermain, yang kemudian diketahui berhubungan dengan proses transfer ke Manchester United. Di Maria hanya bisa menangis menyaksikan timnya kalah 0-1 lewat gol Mario Gotze. Momen patah hati nasional bagi Argentina.
Pasca Piala Dunia, Di Maria resmi pindah ke Manchester United dengan nilai fantastis, hampir setara dengan Gareth Bale. Namun petualangan di Inggris tak berjalan mulus. Ia kemudian menemukan rumah barunya di Paris Saint-Germain (PSG), di mana ia kembali menjadi bagian penting skuad bertabur bintang, mempersembahkan banyak trofi domestik.
Puncak karier internasionalnya terjadi di Copa América 2021, saat Di Maria mencetak gol semata wayang di final melawan Brasil. Gol itu mengantar Argentina menjadi juara di kandang musuh bebuyutan mereka—gelar pertama Messi bersama timnas senior. Lalu, di Piala Dunia 2022, Di María kembali menunjukkan magisnya. Ia mencetak gol di final melawan Prancis dalam laga yang disebut-sebut sebagai final terbaik sepanjang masa, sebelum akhirnya Argentina menjadi juara dunia melalui adu penalti.
Perjalanan Angel Di Maria adalah kisah tentang konsistensi, ketekunan, dan kesetiaan pada mimpi. Dari bocah hiperaktif yang menendang-nendang bola di Rosario, hingga menjadi pemain krusial dalam tiga final penting bagi Argentina, Di Maria telah menuliskan babak penting dalam sejarah sepak bola. Ia bukan hanya pembantu Messi. Ia adalah jenderal sayap yang menjadi nyawa lain dalam kebangkitan sepak bola Argentina di era modern.
Baca juga:
Satu Rahim, Dua Ideologi: Pertarungan Abadi di Jantung Milan
Menyusuri Napoli: Ketika Sepak Bola Menjadi Agama, dan Maradona Menjadi Nabinya