LEFT-BACK.COM – Pada tahun 2019, sebuah tempat sederhana di tengah Desa Mundakjaya blok Badak, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, menjelma menjadi ruang penuh makna bagi anak-anak muda. Tempat ini bukan hanya sekadar lokasi nongkrong, melainkan rumah bagi beragam komunitas—dari suporter sepak bola, komunitas motor, hingga seniman. Mereka berkumpul, bertukar cerita, dan menjalin hubungan, menciptakan ruang inklusif yang diterima oleh siapa saja.
Namun, kehidupan berubah drastis ketika pandemi melanda pada tahun 2020. Masa sulit ini mengajarkan bahwa solidaritas adalah napas yang menghidupkan kemanusiaan. Terinspirasi oleh aksi Jerinx SID di Bali yang menghadirkan pasar gratis, komunitas ini memutuskan untuk melakukan hal serupa dengan pendekatan unik. Mereka membuat celengan dari kaleng bekas yang diisi oleh siapa saja yang mampir. Setiap akhir bulan, celengan tersebut dibuka, dan hasilnya digunakan untuk menyediakan nasi bagi mereka yang membutuhkan.
Setelah kegiatan pasar gratis pertama berhasil terlaksana, lahirlah nama Birmingham untuk tempat ini. Nama tersebut diambil dari salah satu kota legendaris di Inggris, yang dikenal sebagai pusat revolusi industri dan tempat berdirinya universitas-universitas ternama. Filosofi ini mencerminkan harapan besar: agar setiap orang yang singgah di Birmingham, meskipun berlatar belakang sederhana, dapat memiliki etos kerja tinggi dan kecerdasan dalam menyikapi kehidupan.
Seiring waktu, Birmingham menjadi pelabuhan bagi mereka yang merasa terbuang dan terabaikan. Pasar gratis yang rutin diadakan setiap akhir bulan tak hanya memberikan bantuan materi, tetapi juga menyatukan jiwa-jiwa yang mungkin telah lama kehilangan rasa percaya diri.
Namun, perjalanan ini tidak selalu mudah. Setelah pandemi berakhir pada 2022, sebagian besar penggerak komunitas memilih merantau, meninggalkan Birmingham untuk mengejar penghidupan di luar kota maupun luar negeri. Di tengah tantangan tersebut, Birmingham memutuskan untuk membuka donasi publik guna melanjutkan pasar gratis. Kini, kegiatan mereka berkembang, mencakup pembagian nasi, kudapan, hingga pakaian bekas layak pakai.
Meski diterpa kritik dan cibiran, Birmingham tetap bertahan, menjunjung tinggi nilai solidaritas yang menjadi inti dari keberadaannya. Tempat ini membuktikan bahwa kebaikan tidak memerlukan sumber daya besar—cukup hati yang tulus dan semangat untuk berbagi.
Birmingham bukan sekadar nama, melainkan simbol perjuangan dan kebersamaan. Hingga kini, pasar gratis masih berlangsung setiap akhir bulan, menyampaikan pesan bahwa negara masih belum baik-baik saja—feodalisme masih mengakar, dan kelas sosial terus menjadi sekat yang menyakitkan bagi kalangan menengah ke bawah.
Baca juga:
Indramayu: Paradoks Cahaya Literasi dan Angka Melek Huruf
Tradisi Penyapu Koin di Jembatan Sewo: Warisan Budaya Pantura yang Sarat Makna